Mengapa Ada Tradisi Rebo Wekasan di Bulan Safar?
Mengapa ada tradisi Rebo Wekasandi Bulan Safar? Adakah hal tersebut dalam Islam? Berikut penjelasan dan ulasannya.
Istilah Rebo Wekasan populer di Indonesia, terutama di Jawa. Istilah ini muncul di bulan Safardalam tradisi Jawa. Disebut Rebo Wekasan artinya hari Rabu terakhir di bulan Safar pada kalender Jawa atau kalender Islam Hijriah .
Apabila mengacu Kalender Hijriah2025 yang diterbitkan secara resmi oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI, bulan Safar akan berlangsung 30 hari, dan berakhir pada 26 Agustus 2025 mendatang. Hal ini berarti, hari terakhir Rabu di bulan Safar jatuh pada tanggal 20 Agustus 2025 atau Rabu besok.
Rebo Wekasan menjadi penting karena menurut sebagian ahli makrifat termasuk orang yang ahli mukasyafah meyakini bahwa setiap tahun Allah menurunkan bala ( bencana ) yang berjumlah 320.000. Kesemuanya diturunkan pada hari Rabu yang terakhir di bulan Safar.
Abdul Hamid Quds adalah salah satu yang berpendapat demikian. Pendapat itu disampaikan dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur.Oleh sebab itu, hari Rabu besok akan menjadi hari terberat di sepanjang tahun. Disebutkan, maka barang siapa yang melakukan salat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salam membaca doa, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.
Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, harusnya merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.
Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW , "Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).
Ungkapan hadis laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.
Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah.Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah.
Baca juga:Rebo Wekasan, Asal-usul dan Hukum Amalannya Menurut Islam
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:
لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
“Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Lagi Viral Gen ZTaiwan Jalan Menunduk seperti Budaya Indonesia, Netizen: Beneran Apa Ngejek?
Maksud hadis laa thiyaarata atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.Zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.
Apakah Ada Perayaan Rebo Wekasan dalam Islam?
Apakah ada perayaan khusus Rebo Wekasan dalam Islam? Siti Mahmudah Yanti dalam papernya berjudul "Tradisi Rebo Wekasan Di Desa Suci" menyebut ini sebagai tradisi yang sudah identik dan melekat dengan Budaya Jawa . Dia menyebut ritual ini dilakukan sejak Sunan Giri .Istilah Rebo Wekasan bila ditinjau dari Bahasa Arab adalah Arba’a yang berarti Rabu dan Hasanun yang berarti bagus. Artinya hari Rabu sebaiknya dipergunakan untuk melakukan hal-hal yang bagus.
"Sedangkan ditinjau dari bahasa Jawa berarti Rebo Pungkasan atau Rabu yang terakhir pada setiap bulan Safar," tulis Siti Mahmudah Yanti.
Menurutnya, berkaitan dengan itu ada ulama yang menyebutkan bahwa pada Bulan Safar Allah SWT menurunkan 320.000 sampai 500.000 lebih macam penyakit atau musibah .
Karena itu, untuk mengantisipasinya agar terhindar dari musibah tersebut sebagian umat Islam melakukan tirakatan, beribadah menghadap Allah SWT seraya berdoa agar terhindar dari malapetaka tepat di hari Rabu terakhir di bulan Safar.Sementara itu, Siti Nurjannah dalam karya tulisnya berjudul "Living Hadis: Tradisi Rebo Wekasan di Pondok Pesantren MQHS Al-Kamaliyah Babakan Ciwaringin Cirebon" juga menyebut Tradisi Rebo Wekasan yang dilaksanakan di Pondok MQHS Al-Kamaliyah Babakan Ciwaringin Cirebon tidak terlepas dari tradisi leluhur yang turun temurun dari generasi ke generasi.
Menurut penuturan Nyai Fatimah, pengasuh sekaligus pendiri Pondok MQHS al Kamaliyah Babakan, tradisi ini diyakini sebagai tradisi leluhur yang masih harus dilestarikan. Jika tidak mengamalkan tradisi ini, ia merasa khawatir akan datangnya blai atau bencana.
Ia menjelaskan bahwa tradisi ini bertujuan untuk mencegah datangnya malapetaka di hari Rabu terakhir di Bulan Safar. Menurutnya, mengamalkan ritual Rebo Wekasan di bulan Safar merupakan bentuk ikhtiar seorang hamba agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Tradisi Rebo Wekasan ini merupakan tradisi yang sudah membudaya dan menjadi tradisi tahunan di kalangan pesantren Babakan, maka ia pun ikut melaksanakan dan melestarikan tradisi ini," demikian Siti Nurjannah.
Baca juga:Dianggap Bulan Sial, Benarkah Segala Bala dan Musibah Bakal Turun di Hari Rabu Terakhir Bulan Safar?








