Lamanya Perjalanan, Diponegoro Merasa Jenuh

Lamanya Perjalanan, Diponegoro Merasa Jenuh

Gaya Hidup | BuddyKu | Selasa, 22 Agustus 2023 - 16:18
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM- Dalam kisah terdahulu telah disampaikan bahwa Diponegoro bercerita tentang sejarah Jawa. Dia menceritakan tentang sepak terjang Surapati yang ada di Kartasura ketika berhasil membunuh Kapten Tack dan kemudian setelah itu pergi ke Jawa Timur untuk mendirikan kerajaan di Bangil dekat Pasuruan.

Surapati memerintah sebagai pangeran mandiri dengan gelar Pangeran Ario Wironegoro. Surapati akhirnya meninggal pada 5 Desember 1706. Wilayah kerkuasaan Surapati membentang di sebagian besar Jawa Timur.

Diponegoro juga bercerita tentang keruntuhan Kerajaan Majapahit dan awal berdirinya Kerajaan Demak di Jawa Tengah yang didirikan Raden Patah. Diponegoro mengatakan bahwa antara Jawa dengan Palembang mempunyai ikatan yang kuat, karena sejarah Palembang tidak dapat dilepaskan dengan sejarah Jawa (kisah tersebut bisa dibaca DI SINI ).

Pembaca yang budiman, hari itu sudah hari Jumat, 21 Mei 1830. Pada pukul 11.00 pagi Letnan Knoerle berkunjung ke kabin Diponegoro. Ketika Letnan Knoerle datang, Diponegoro segera memintanya untuk duduk di ranjangnya.

Di awal pembicaraan, Diponegoro mengeluh kepada Letnan Knoerle bahwa perjalanan terlalu lambat sehingga tidak cepat sampai ke tujuan yakni Manado.

Dalam ngobrol-ngobrol itu, Diponegoro mengatakan bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Sesaat kemudian Diponegoro mengatakan, ketika sebelum dan sesudah Perang Jawa, Diponegoro mengaku memiliki lebih dari 200 orang pengikut serta 60 orang yang bertugas memelihara kudanya.

Semua orang ini langsung di bawah perintahnya dan juga di bawah perlindungannya. Untuk gaji dan biaya akomodasi mereka, Diponegoro mendelegasikan kepada Tumenggung Sumodipuro.

Diponegoro dalam ceritanya mengatakan dari semua pengikut yang banyak itu, yang tersisa di kapal ini hanya punakawan yakni Sahiman, Roto (Joyosuroto) dan Banteng Wareng. Pengikut lain Diponegoro di kapal yang mengikuti Sang Pangeran ke pengasingan, bertugas sebagai juru masak dan menjalankan tugas rumah tangga lainnya, sehingga mereka tidak bisa dikatakan sebagai punakawan.

Rupanya Diponegoro mulai jenuh dengan perjalanan yang begitu lama. Perjalanan Diponegoro hingga sampai di Manado menghabiskan waktu 7 minggu.

Saat Diponegoro mengeluh, perjalanan sudah menghabiskan waktu 3 hari di lepas pantai Pulau Pundi. Letak pulau ini ada di sebelah timur Sumenep.

Pulau ini merupakan gugusan pulau di sebelah timur pulau Madura yang secara administratif sekarang masuk dalam Kabupaten Sumenep. Kabupaten Sumenep adalah sebuah kabupaten yang terkenal dengan budaya ikoniknya yaitu Karapan Sapi.

Tentang punakawan, tugas ini sebenarnya cukup berat. Seorang punakawan adalah sebagai pendamping pangeran Jawa. Seorang punakawan bertugas sebagai tutor, pelayan, pengawal, badut (melucu), penasihat, tukang pijat, dukun (dapat meramu obat), dan juga sebagai penafsir mimpi.

Seorang punakawan ketika berinteraksi dengan Diponegoro tidak formal dan kaku. Mereka dibolehkan berceloteh seenaknya di depan Diponegoro yang kadang mengundang tawa jika ceritanya lucu dan membuat haru jika ceritanya kisah yang menyedihkan.

Joyosuroto dan Banteng Wareng, memang sudah lama bergaul dengan Diponegoro. Mereka diizinkan berbicara blak-blakan (terbuka) dan kadang bicaranya pedas didengar.

Dalam Babad Diponegoro versi Manado, Diponegoro menggambarkan bahwa kedua punakawan itu sebagai bajingan muda, nakal dan kurcaci.

Memang kedua punakawan itu ukuran badannya pandek dan jika berbicara kadang suka dengan pembicaraan yang saru-saru (jorok). Untuk itulah kadang ceritanya mengundang tawa bagi yang mendengarkan.

Kedua punakawan itu sangat setia dengan Diponegoro. Ketika penangkapan Diponegoro di Magelang, pada Minggu pagi, 28 Maret 1830, sesaat sebelum Diponegoro naik kereta yang dipersiapkan oleh kolonial menuju Semarang, Joyosuroto tanpa diperintah oleh Sang Pangeran, langsung segera naik kereta yang akan ditumpangi Diponegoro. Joyosuroto merangsek ke kereta dengan membawa kotak sirih Diponegoro yang sangat berharga.

Ketika Diponegoro kecapean dalam perjalanan dari Magelang menuju Semarang, karena mengalami hari yang panjang dalam peristiwa perundingan yang berujung pada penangkapan, Diponegoro beserta Mayor Stuers dan Kapten Roeps istirahat malam di sebuah benteng kecil di Ungaran. Saat Diponegoro beristirahat, Joyosuroto berjaga di depan pintu kamar Sang Pangeran hingga pagi hari.

Joyosuroto dan Banteng Wareng memang akhirnya menemani Sang Pangeran hingga ke pengasingan. Ketika tiba di Manado, pada tahun 1830 hingga tahun 1833 Joyosuroto dan Banteng Wareng dengan setia menemani Diponegoro dalam pengasingan.

Ketika Diponegoro dipindahkan ke Benteng Rotterdam Makassar pada tahun 1833, Joyosuroto dan Banteng Wareng juga menemani Sang Pangeran hingga tahun 1839.

Pada tahun 1839 Joyosuroto harus dipindahkan Belanda ke Tondano bersama dengan istrinya yang bernama Amadullah. Anaknya yang berjumlah 5 orang, juga ikut dipindahkan ke Tondano.

Tidak jelas alasannya mengapa Belanda memisahkan Joyosuroto dengan Diponegoro, sedangkan Banteng Wareng diminta Belanda tetap menemani Sang Pangeran di Makassar sampai akhir hidupnya.

Ketika di Pengansingan, pemerintah Kolonial Belanda juga memberikan gaji bulanan kepada Joyosuroto yang besarannya sama juga diterima Banteng Wareng. Gaji bulanan itu diberikan sebesar 5-7 gulden atau 60-80 dollar Amerika atau sekarang setara dengan 850.000 sampai 1.150.000 rupiah.

Joyosuroto dan keluarganya tidak pernah kembali ke Jawa dan meninggal di Tondano dan dimakamkan di Tondano bersama dengan orang-orang Jawa yang diasingkan di Tondano. Sementara itu Banteng Wareng meninggal di Makassar dan dimakamkan tidak jauh dari makam Diponegoro.

Bagaimana kisah-kisah berikutnya saat Sang Pangeran di Kapal Pollux? Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya!

Penulis: Lilik SuharmajiFounder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.

Bacaan Rujukan
Carey, Peter. 2022. Percakapan dengan Diponegoro. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Topik Menarik