Asia dan Africa: `Teater` Perang Dunia I yang Terlupakan

Asia dan Africa: `Teater` Perang Dunia I yang Terlupakan

Gaya Hidup | netralnews.com | Sabtu, 11 Juni 2022 - 05:26
share

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Perang Dunia Pertama adalah peristiwa besar yang terjadi selama 4 tahun dari 1914-1918.


Peristiwa tersebut memiliki signifikansi yang penting bagi sejarah dunia modern, mulai dari korban jiwa yang berjumlah jutaan, hingga perubahan substansial terhadap peta polik dunia. Sampai-sampai, masyarakat yang hidup di zaman itu mengibaratkan perang tersebut dengan perang yang mengakhiri segala perang.


Partisipan dalam konflik tersebut terbagi menjadi dua blok, yakni Blok Sentral dan Blok Sekutu. Blok Sentral disandang oleh 4 negara, Jerman, Austria-Hungaria, Bulgaria, dan Kesultanan Ustmaniyah.


Di sisi lain, Blok sekutu memiliki partisipan yang lebih banyak; Inggris, Prancis, Rusia, Amerika, Cina, Jepang, Portugal, Serbia, Romania, Yunani, Belgia, Italia, Luxembourg, Montenegro, dan Thailand. Mereka diketahui turut berperang dalam Blok Sekutu.


Meskipun perang ini sering digambarkan sebagai konflik global pertama, tak dapat dipungkiri bahwa Perang Dunia I sangat diidentikan dengan penggambaran serdadu kulit putih saling bunuh satu sama lain di dataran Eropa. Pertanyaannya, bilamana semua terfokus di Eropa apa gerangan yang terjadi dengan luar Eropa?


Perlu diketahui bahwa salah satu penyebab tidak langsung Perang Dunia I berasal dari Revolusi Industri.


Industrialisasi terjadi di segala bidang, terutama ekonomi dan militer. Bangsa Eropa memerlukan bahan mentah untuk pabrik-pabrik mereka. Alhasil mereka berlomba-lomba untuk menguasai wilayah yang kaya akan sumber daya alam (SDA) yang kebanyakan terletak di Asia dan Afrika.


Meskipun konflik ini dirasa ekslusif Eropa, perlu diketahui bahwa Inggris, Prancis, dan Jerman merupakan kekuatan kolonial, dengan wilayah jajahan yang membentang di dua tempat tadi.


Tentara kolonial, tenaga kerja, dan SDA yang berasal dari luar Eropa dengan demikian ikut tersedot ke dalam perang yang dideklarasikan oleh tuan-tuan Eropa mereka.


Terlepas dari partisipasi masyarakat kedua benua hanya sebatas pendukung, kontak senjata memang benar terjadi meskipun dalam skala yang lebih kecil.


\'Teater\' Afrika


Afrika barangkali merupakan tempat kedua setelah Eropa yang merasakan intensnya peperangan; Jerman memiliki luas wilayah jajahan yang substansial di Benua Hitam tersebut, yang di antaranya mencakup Tanganyika (Tanzania), Rwanda-Urundi (Rwanda & Burundi), Kamerun, Togoland, dan Namibia.


Wilayah jajah Jerman dikelilingi oleh wilayah jajahan Inggris, Prancis, berikut Blok Sekutu lainnya.


Ketika konflik pecah, dengan cepat para opsir Sekutu berikut masing-masing tentara kolonialnya merangsek masuk dan merebut daerah jajahan Jerman.


Indy Neidell, seorang documenter Amerika-Swedia menerangkan bahwa dalam Konferensi Berlin sebenarnya wilayah jajahan memiliki pilihan untuk berperang dengan negara induk atau tetap netral karena negara-negara kolonial masih sangat rentan terhadap pemberontakan. Akan tetapi perjanjian itu dilanggar oleh Inggris dan Prancis mengingat Jerman memiliki jumlah tentara kolonial yang sedikit.


Dalam waktu singkat, hampir semua jajahan Jerman dapat dikuasai oleh Sekutu. Namun, satu wilayah yaitu Tanganyika tetap sulit untuk dikuasai karena komandan militer wilayah jajahan itu, Paul von Lettow-Vorbek melakukan perang gerilya.


Nasib wilayah jajahan Jerman dikemudian hari akan dibagi-bagikan kepada para pemenang, terutama Inggris dan Prancis.


Jerman bukan hanya musuh yang dihadapi oleh Sekutu di Afrika, ada juga Kesultanan Utsmaniyah. Meskipun Utsmaniyah sudah tidak memiliki provinsi lagi di Afrika, statusnya sebagai mercusuar kaum Muslim dapat sewaktu-waktu menghasut pemberontakan di wilayah Afrika Utara yang secara demografis dikuasai oleh orang-orang Arab.


Buku The Fall of Khilafah karya Eugene Rogan menjelaskan bahwa Utsmaniyah pernah sekali melakukan serangan ke Mesir di semenanjung Sinai.


Mesir secara nominal merupakan provinsi Utsmaniyah, namun pada tahun 1882 Inggris mengklaim wilayah tersebut setelah Pemberontakan Mahdi serta bertujuan untuk mengamankan Terusan Suez.


Terusan Suez makin menunjukan nilai strategisnya pada Perang Dunia I karena merupakan jalur suplai dari India ke Inggris.


Di samping penyerangan langsung ke Mesir, Utsmaniyah lebih banyak memainkan Soft Power dengan mengirimkan persenjataan dan logistik ke Aljazair-Prancis dan Libya-Italia yang pada masa itu masyarakat Arabnya tengah meluncurkan pemberontakan terhadap masing-masing pemerintah kolonial.


\'Teater\' Asia


Jerman tidak memiliki banyak daerah jajahan di Asia, negara Eropa tengah tersebut diketahui menguasai kota Qingdao di Cina, Papua bagian Timur Laut, dan kepulauan-kepulauan kecil di Pasifik.


Ketika kontak senjata pecah, Inggris, diwakili oleh negara bawahannya Australia merangsek masuk ke wilayah Papua yang dikuasai oleh Jerman. Di samping melawan Inggris, Jerman juga mesti berperang dengan Jepang.


Indy Neidell kembali menjelaskan bahwa Jepang sangat bersemangat sekali bertempur melawan Jerman karena ia akan memiliki justifikasi untuk merebut wilayah Jerman yang mana akan mendukung ambisi imperialisnya; Jepang sepeninggal Kaisar Meiji merupakan satu-satunya negara Asia yang sudah mengalami industrialisasi.


Pengepungan Qingdao merupakan satu-satu pertempuran besar yang terjadi di Asia. Meskipun begitu, Jerman bukanlah satu-satu kekuatan Sentral yang memiliki koloni di Cina.


Adapun Austria-Hungaria yang juga menguasai kota Tianjin; kekuasaan sekutu Jerman tersebut berakhir ketika Pemerintah Republik Cina menyatakan dukungannya untuk membantu Sekutu. Tentara Cina kemudian dikerahkan untuk menduduki kota tersebut pada tahun 1917.


\'Teater\' Asia selama Perang Dunia I terbagi menjadi 2 front; Asia Timur dan Asia Barat. Wilayah Asia Barat atau yang sekarang ini dikenal sebagai Timur Tengah dahulunya merupakan porsi yang signifikan dari territory Utsmaniyah. Wilayah ini juga didominasi oleh Bangsa Arab.


Setelah mengalami kekalahan yang memilukan dari Turki di Semenanjung Galipolli pada 1915, Sekutu mencoba membalaskan dendamnya pada kampanye Mesopotamia.


Kembali mengutip dari buku the Fall of Khilafah, Eugene Rogan menjelaskan bahwa Kampanye Mesopotamia (Irak) berlangsung selama 4 tahun dan secara garis besar merupakan kampanye yang melelahkan bagi sekutu. baik Inggris dan Prancis berusaha menghasut perpecahan antara penguasa Turki dan bangsa Arab yang mereka kuasai.


Bangsa Arab dan Turki telah hidup berdampingan semenjak abad ke-13, namun situasi berubah ketika pada tahun 1908, gerakan politk yang dikenal sebagai Gerakan Turki Muda melakukan kudeta terhadap Sultan.


Gerakan Turki Muda merupakan gerakan nasionalis yang sekuler. Golongan ini melakukan Turkifikasi paksa terhadap Bangsa Arab serta masyarakat minoritas lain yang hidup di negara itu. Selain asimilasi paksa, adapun pelepasan nilai-nilai Islam.


Sentimen tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Inggris dan Prancis. Mereka mengajak Sharif bin Ali seorang Emir dari Mekah untuk memberontak melawan dominasi Turki.


Sharif setuju untuk ikut memberontak setelah Sekutu berjanji padanya untuk membantu mendirikan kerajaan besar yang mencakup seluruh Jazirah Arab.


Sharif beserta para pengikutnya kemudian meluncurkan pemberontakan besar-besaran melawan pasukan Utsmaniyah. Mereka juga menghancurkan jalur kereta api Hejaz yang menjadi lajur suplai yang penting.


Bantuan Bangsa Ara serta tekanan dari dua front akhirnya mencabut kekuasan Turki dari seluruh Jazirah Arab.


Pada akhir Perang, Inggris dan Prancis sendiri akan mengkhianati Sharif bin Ali. Mereka membagikan wilayah Utsmaniyah di antara mereka sendiri, membuka Palestina untuk imigrasi Yahudi, memberikan dukungan kepada keluarga Al-Saud yang sekarang menjadi penguasa Arab Saudi, dan mengasingkan Sharif beserta keluarganya ke Cyprus, terkecuali untuk anaknya Fasil serta Abdullah yang dijadikan raja oleh Inggris di Irak dan Yordania.


Penulis: Muhamad Wafi Fahriawan

Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Malang

Topik Menarik