Utang Jumbo Kereta Cepat Whoosh bak Bom Waktu, KCIC Harus Bayar Bunga Rp2 Triliun per Tahun ke China
JAKARTA - Beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau whoosh telah membengkak hingga USD7,2 miliar atau setara Rp116 triliun.
Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Toto Pranoto mengatakan, komposisi utang tersebut sekitar 75 persen merupakan pinjaman dari China Development Bank (CDB) dengan suku bunga sekitar 3,5-4 persen. Hal ini membuat konsorsium PT KCIC yang mayoritas dipegang oleh PT KAI perlu membayar bunga utangnya saja sekitar Rp2 triliun per tahun.
"Kalau kita melihat total biaya investasi awal ditambah cost overrun itu kan hampir USD7,2 miliar (utang KCJB). Bahkan utang yang 75 persen dari CDB itu dengan bunga 3,5 sampai 4 persen, mereka (KCIC) harus bayar bunganya saja mungkin Rp2 triliun ya," ujarnya saat dihubungi Okezone, Sabtu (23/8/2025).
Belum lagi, Toto juga menyoroti pembukuan kerugian PT KCIC yang praktis membebani PT KAI sebagai pemilik mayoritas konsorsium tersebut.
Tercatat, perusahaan itu masih menelan kerugian sebesar Rp1,6 triliun pada semester I 2025. Jumlah ini menyusut jika dibandingkan dengan semester I 2024 sebesar Rp2,3 triliun.
Menurutnya, beban utang yang cukup besar itu tidak akan mampu ditutup jika mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket semata. Mengingat, saat ini okupansi harian Whoosh juga masih berada di bawah skenario moderat yaitu 60 persen.
"Jadi tidak mungkin juga pendapatan Whoosh dalam setahun itu bisa menutup itu. Sehingga memang di luar jangkauan PT KAI sebagai lead konsorsium," tambahnya.
Toto mendukung langkah Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara terkait rencana membenahi utang atau beban PT KAI atas proyek kereta cepat. Sebab hal tersebut akan berdampak buruk terhadap layanan hingga pembukuan PT KAI ke depannya jika harus menanggung beban utang Kereta Cepat.
"Jadi kalau nanti sebagian utang itu kemudian diambil alih Danantara kan otomatis sebagai operator bisnis Kereta Api Indonesia akan memiliki struktur keuangan yang jauh lebih sehat," tambahnya.
Dia menilai, Danantara bisa punya ruang gerak yang lebih luas terkait penyehatan utang kereta cepat. Terutama kaitannya dalam pengembangan kawasan, atau pemanfaatan aset-aset lahan whoosh. Sehingga tidak sekedar mengandalkan pendapatan organik dari okupansi penumpang.
"Pengembangan kawasan otomatis iya (penambahan investasi Danantara) kan misalnya juga beberapa (perusahaan) yang masuk dalam konsorsium KCIC itu juga kan sudah punya akses. Misal ada WIKA, dia punya konsesi pengembangan TOD di Halim misalnya, dan lainnya," kata Toto.
"Itu kan bisa mulai dari jaringan properti atau pusat-pusat kawasan industri, atau apapun lah, sehingga Whoosh ini bisa mengenerate income lebih banyak, bukan sekadar lintasan yang kemudian tidak bisa dimanfaatkan," pungkasnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI, yang membidangi perdagangan dan BUMN, di Jakarta, Rabu (20/8), Direktur Utama PT KAI Bobby Rasyidin mengusulkan restrukturisasi proyek Whoosh.
“Kami dalami juga masalah KCIC, memang ini bom waktu. Kami akan koordinasi dengan Danantara untuk penyelesaian KCIC ini, selanjutnya untuk perbaikan dan restrukturisasi dari portofolio-portofolio yang ada,” ucap Bobby.









