Gegara PP 28/2024, Ancaman Ekonomi dan PHK di Depan Mata

Gegara PP 28/2024, Ancaman Ekonomi dan PHK di Depan Mata

Ekonomi | sindonews | Sabtu, 19 Juli 2025 - 20:38
share

Kritik terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus bergulir. Regulasi yang ditujukan untuk pengendalian konsumsi produk tembakau ini dinilai berpotensi mengganggu ekosistem industri hasil tembakau nasional dan menimbulkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman, menilai aturan tersebut membatasi ruang gerak industri, yang pada akhirnya akan berdampak langsung pada penurunan penjualan dan penyerapan bahan baku oleh produsen.

"Ketika ruang gerak industri dibatasi, penjualan pasti turun. Dampaknya jelas ke hulu, yakni petani tembakau. Ini bisa mengarah pada pengurangan tenaga kerja di sektor pabrik," ujarnya dalam pernyataannya, Sabtu (19/7).

Baca Juga:Asosiasi Petani Tembakau Desak Pembatalan Pasal Tembakau dalam PP 28/2024

PP 28/2024 di antaranya mengatur pelarangan iklan, penyeragaman kemasan tanpa identitas merek, serta pembatasan radius penjualan produk tembakau. Budhyman menyebut, meski menyasar sektor hilir, dampaknya akan menjalar hingga ke petani dan buruh industri.Ia juga mempertanyakan dasar hukum PP tersebut yang merujuk pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), padahal Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut. "Kalau kita belum meratifikasi, seharusnya tidak serta-merta mengadopsi kebijakan dari FCTC. Padahal industri tembakau ini berkontribusi besar terhadap penerimaan negara," katanya.

Kritik lain diarahkan pada proses penyusunan regulasi yang dinilai tidak inklusif dan tidak transparan. Budhyman menegaskan bahwa pihak-pihak terdampak tidak dilibatkan dalam proses konsultasi publik.

"Menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, setiap penyusunan regulasi yang berdampak luas seharusnya melibatkan pihak terkait. Tapi dalam kasus ini, tidak ada pelibatan sama sekali," tegasnya.

Desakan agar pemerintah merevisi atau mencabut pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 pun terus menguat. Budhyman menyebut reaksi penolakan telah datang dari seluruh mata rantai industri, mulai dari petani hingga pedagang eceran.

"Sudah banyak yang bersuara, dari hulu ke hilir. Kalau ini terus dilanjutkan, stabilitas ekonomi di daerah yang bergantung pada tembakau bisa terganggu," ucapnya.Baca Juga:Pemerintah Perlu Libatkan Stakeholders Rumuskan Kebijakan Cukai Tembakau

Pandangan senada disampaikan oleh ekonom Universitas Airlangga, Gigih Prihantono, yang menilai PP ini berisiko menjadi bumerang bagi perekonomian nasional. Ia mengingatkan bahwa mayoritas yang terdampak justru kelompok rentan seperti petani dan buruh.

"Regulasi ini terlalu menekan sektor yang padat karya dan menyumbang besar bagi penerimaan negara. Kalau penerimaan dari cukai rokok turun, tentu akan memengaruhi target pertumbuhan ekonomi nasional," paparnya.

Gigih menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan penegakan hukum terhadap regulasi yang sudah ada, alih-alih menambah beban dengan aturan baru yang represif.

"Lebih baik memperkuat pelaksanaan aturan yang ada daripada menambah regulasi yang justru menekan sektor yang sudah memberikan kontribusi nyata," tandasnya.

Topik Menarik