China Satset Cari Pasar Baru, Surplus Perdagangan Melesat Tembus Rp1.868 Triliun

China Satset Cari Pasar Baru, Surplus Perdagangan Melesat Tembus Rp1.868 Triliun

Ekonomi | sindonews | Senin, 14 Juli 2025 - 21:53
share

Ekspor China mengalami lonjakan signifikan pada Juni 2025, disertai pemulihan impor yang mengejutkan. Kinerja perdagangan ini memberikan dorongan tak terduga bagi perekonomian Tiongkok di tengah mendekatnya tenggat waktu kesepakatan tarif dengan Amerika Serikat.

Data dari Otoritas Bea Cukai China yang dirilis pada Senin (14/7), menunjukkan bahwa surplus perdagangan Negeri Tirai Bambu tumbuh menjadi USD114,8 miliar setara dengan Rp1.868 triliun pada Juni. Angka ini meningkat dari surplus USD103,2 miliar pada Mei dan USD98,94 miliar pada periode yang sama tahun lalu, serta melampaui perkiraan analis yang memprediksi surplus sebesar 109 miliar dolar.

Ekspor China meningkat 5,8 persen secara tahunan, menguat dari 4,8 persen pada Mei dan melebihi estimasi pasar. Sementara itu, impor juga mengalami kenaikan tipis sebesar 1,1 persen, berbalik arah dari penurunan 3,4 persen pada bulan sebelumnya.

Baca Juga:Perang Dagang Makin Sengit, Trump Siapkan Tarif Impor 30 untuk Eropa dan Meksiko

Pemulihan ekspor dan impor yang mengejutkan ini terjadi di tengah mencairnya ketegangan dagang antara China dan Amerika Serikat. Kedua negara tengah berupaya mencapai kesepakatan sebelum tenggat 12 Agustus mendatang. Para analis menilai lonjakan ekspor ini disebabkan oleh upaya eksportir China untuk mempercepat pengiriman guna memanfaatkan jeda tarif sementara. Sebelumnya, pesanan ekspor sempat melemah pada Mei akibat tekanan perang dagang.Peningkatan ekspor didorong oleh pengiriman ke negara-negara di luar Amerika Serikat. Ekspor dan impor dari dan ke AS justru menurun masing-masing sebesar 16,1 persen dan 15,5 persen. Namun, penurunan ini tidak separah penurunan Mei yang masing-masing mencapai 34,5 persen dan 18,1 persen.

Hubungan dagang kedua negara sempat membaik setelah kesepakatan gencatan senjata tarif dicapai pada awal Mei. Perundingan antara Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer dengan delegasi China di Jenewa menghasilkan kesepakatan untuk menurunkan tarif dan menyusun kerangka negosiasi lanjutan.

Namun, gencatan ini dijadwalkan berakhir pada 12 Agustus, dan kedua belah pihak masih saling tuding melanggar ketentuan. Di luar janji peningkatan ekspor logam tanah jarang oleh China dan pengurangan pembatasan perdagangan oleh AS, belum ada terobosan berarti dalam negosiasi lanjutan.

Profesor Bisnis dan Ekonomi China di Columbia Business School, Shang-Jin Wei, mengatakan, percepatan ekspor menjelang tenggat tarif menjadi faktor utama meningkatnya surplus perdagangan. Ia menambahkan bahwa konsumsi domestik China yang masih lemah turut memengaruhi rendahnya angka impor.

Sementara, Presiden AS Donald Trump baru-baru ini meneken kesepakatan dengan Vietnam yang menetapkan tarif 20 persen atas barang impor dari negara tersebut. Namun, tarif 40 persen akan dikenakan pada produk yang diyakini dialihkan dari China ke AS melalui Vietnam. Para pakar menilai celah ini bisa merusak efektivitas tarif terhadap China dan menambah tekanan pada eksportir Tiongkok.Baca Juga:AS Larang Indonesia Beli Jet Tempur Siluman F-35 AS, Ini Alasannya

Data juga menunjukkan ekspor China ke Vietnam melonjak 23,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sementara impor dari Vietnam turun 13,7 persen."AS dan China berpeluang mencapai kesepakatan sebelum 12 Agustus karena kedua pihak sama-sama menginginkan itu," ujar Dr. Wei dikutip dari Newsweek, Senin (14/7).

Namun, ia mengingatkan, dengan pola kebijakan Presiden Trump yang kerap mengajukan tuntutan baru secara mendadak, kesepakatan bisa saja batal kapan pun. Ekonom Bloomberg, Eric Zhu, mengatakan peningkatan ekspor China pada Juni dipicu pemulihan pengiriman ke AS setelah meredanya ketegangan tarif. Namun, ia mengingatkan bahwa kondisi ini bisa jadi hanya sementara.

China dijadwalkan merilis data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II-2025 pada Selasa (15/7), yang diperkirakan tumbuh 5,1 persen secara tahunan, lebih rendah dari 5,4 persen pada kuartal pertama. Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri China, yang disebut Kementerian Luar Negeri AS sebagai diskusi "konstruktif dan pragmatis". Rubio menyebut peluang pertemuan antara Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping cukup besar, meskipun tanggalnya belum ditentukan.

Topik Menarik