Optimalisasi Anggaran Pendidikan, Fokus ke Pembangunan Fisik atau Peningkatan Kualitas SDM?
JAKARTA - Komitmen pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pendidikan terbesar dalam APBN tahun ini, termasuk Rp2 triliun untuk program pembangunan sekolah unggulan, sekolah rakyat, dan revitalisasi sekolah, disambut baik.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede menyoroti bahwa meskipun alokasi Rp2 triliun untuk program prioritas pendidikan seperti pembangunan sekolah unggulan, sekolah rakyat, dan revitalisasi sekolah terlihat signifikan, efektivitasnya perlu ditinjau secara hati-hati.
Dia menekankan bahwa dampak optimal anggaran akan sangat bergantung pada skala implementasi, distribusi geografis, dan kebutuhan riil di lapangan.
"Secara nominal, anggaran ini mungkin terlihat signifikan, efektivitasnya akan sangat bergantung pada skala implementasi, distribusi geografis, serta kebutuhan riil di lapangan," ujar Josua kepada MNC Portal, Sabtu (14/6/2025).
Menurut Josua, efektivitas anggaran ini akan optimal apabila pemerintah berhasil memastikan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan proyek, akuntabilitas kontraktor, serta ketepatan sasaran geografis dan sosial.
Dia mengingatkan bahwa di banyak kasus sebelumnya, efektivitas belanja pendidikan terganggu oleh keterlambatan pelaksanaan proyek, lemahnya koordinasi antara pusat-daerah, serta rendahnya kualitas konstruksi, yang pada akhirnya menyebabkan anggaran tidak sepenuhnya mencapai tujuan awalnya.
Presiden Prabowo sebelumnya menyebutkan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN tahun ini sebagai yang terbesar, mencerminkan komitmen pemerintah yang kuat terhadap sektor pendidikan. Namun, Josua menegaskan bahwa optimalisasi belanja pendidikan tidak semata-mata dinilai dari besaran nominal anggaran.
"Secara fiskal, realisasi belanja pendidikan saat ini masih membutuhkan peningkatan terutama dalam aspek daya serap dan dampak nyata terhadap kualitas pendidikan nasional," kata Josua.
Dia menambahkan bahwa pemerintah perlu mengatasi tantangan klasik seperti rendahnya serapan anggaran di daerah, birokrasi pencairan dana yang rumit, serta ketidaksesuaian prioritas antara pemerintah pusat dan daerah.
Optimalisasi, menurutnya, akan tercapai jika alokasi belanja diimbangi dengan reformasi kelembagaan, transparansi anggaran, serta mekanisme evaluasi dan koreksi yang kontinu berdasarkan data hasil implementasi di lapangan.
Dalam perspektif ekonomi, Josua menjelaskan bahwa efektivitas anggaran belanja pendidikan, terutama untuk pemerataan melalui sekolah unggulan, sekolah rakyat, dan revitalisasi sekolah, membutuhkan pendekatan strategis yang lebih terukur dan terintegrasi.
Pertama, pemerintah perlu memastikan bahwa lokasi proyek memang sesuai dengan kebutuhan daerah yang memiliki tingkat ketimpangan pendidikan tinggi.
Kedua, implementasi program harus didukung oleh sistem monitoring digital yang transparan, real-time, serta berbasis hasil. Dengan demikian, pemerintah bisa cepat melakukan intervensi korektif jika ditemukan penyimpangan atau inefisiensi.
Ketiga, partisipasi aktif pemangku kepentingan lokal, termasuk masyarakat sipil dan organisasi pendidikan, harus ditingkatkan untuk memastikan akuntabilitas dan relevansi program dengan kebutuhan nyata komunitas setempat.
Josua juga menyoroti dilema yang dihadapi pemerintah di tengah kondisi fiskal yang semakin disiplin, yaitu dalam menentukan prioritas antara belanja infrastruktur pendidikan dengan pengembangan kapasitas guru dan kurikulum.
"Secara ekonomi, kedua komponen ini sama-sama penting dan saling melengkapi. Namun, dalam jangka pendek hingga menengah, pemerintah sebaiknya lebih memprioritaskan peningkatan kapasitas guru dan pembaruan kurikulum, mengingat dampaknya terhadap kualitas pendidikan cenderung lebih cepat terlihat serta memiliki efek pengganda dalam jangka panjang," tutur Josua.
Menurutnya, infrastruktur pendidikan yang baik tentu penting, tetapi tanpa guru yang kompeten dan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja masa depan, investasi pada fisik sekolah tidak akan efektif.
Dalam kondisi fiskal ketat, optimalisasi sumber daya melalui pendekatan yang berimbang namun lebih condong pada aspek SDM pendidikan akan memberi manfaat lebih besar dalam menciptakan tenaga kerja yang kompetitif di masa depan.
Pemerintah sendiri berkomitmen memantau realisasi program prioritas di bidang pendidikan, termasuk pembangunan sekolah unggulan, sekolah rakyat, dan revitalisasi sekolah.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara pada Konferensi Pers APBN Kita di Jakarta, Jumat (23/5/2025) lalu, menyampaikan bahwa pembangunan empat sekolah unggulan dengan anggaran Rp2 triliun tengah dilakukan dan masuk dalam tahap groundbreaking serta awal konstruksi.
“Anggaran sebesar Rp2 triliun untuk pembangunan empat SMA Unggul Garuda. Dan saat ini juga kita akan mengembangkan Dana Abadi SMA unggul tersebut dan tahap yang sudah terjadi adalah tahap awal konstruksi berupa groundbreaking,” tutur Suahasil.
Menurut Suahasil, selain sekolah unggulan, pembangunan sekolah rakyat juga mulai dianggarkan. Pada tahap I dengan anggaran Rp396 miliar digulirkan melalui renovasi bangunan Sentra Rehabilitasi Sosial, Balai Diklat Kementerian Sosial, dan bangunan pemerintah daerah di 65 lokasi. Sementara pada tahap II nanti akan ada 85 lokasi lainnya.
“Di tahap I untuk melakukan renovasi di 65 lokasi dianggarkan Rp396 miliar sudah mulai berjalan dan dengan harapan akan mulai menerima siswa pada tahun ajaran baru, 5.000 siswa lebih,” ucap Wamenkeu.
Program revitalisasi sekolah juga dilaksanakan secara masif oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah pada 10.440 satuan pendidikan baik negeri dan swasta dengan anggaran Rp16,97 triliun.
Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum juga turut merevitalisasi 2.120 madrasah di bawah Kementerian Agama dengan anggaran Rp2,52 triliun.
Berbagai program ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah dalam pemerataan akses pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak Indonesia, sebagai tekad untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik bagi generasi mendatang.