Dolar AS Terancam Kolaps, BRICS dan Utang AS Jadi Ancaman Serius
Dolar Amerika Serikat (AS) menghadapi ancaman serius di tengah gelombang dedolarisasi yang digaungkan oleh negara-negara BRICS. Dua bank raksasa global, Standard Chartered dan Deutsche Bank memprediksi pelemahan lebih dalam terhadap mata uang AS tersebut.
Dalam laporan terbaru, kedua bank menyoroti berbagai faktor makroekonomi yang dapat memperburuk posisi dolar AS. Mereka menilai, aset-aset keuangan berbasis dolar yang dulunya menjadi tulang punggung sistem keuangan global kini mulai kehilangan daya tarik.
Standard Chartered dalam analisanya menyebut, kebijakan perdagangan AS yang kontroversial telah mengikis kepercayaan global terhadap pemerintahan di Gedung Putih.
"Kisah pelemahan dolar belum berakhir," tulis Steve Englander, Kepala FX Global Standard Chartered, dikutip dari Watcher Guru, Jumat (23/5).
Sementara, Deutsche Bank mengingatkan ancaman dari dalam negeri. Analis bank asal Jerman itu memproyeksikan rancangan undang-undang pemotongan pajak era Trump dapat menambah utang negara sebesar USD3 triliun hingga USD5 triliun.
Utang AS saat ini telah mencetak rekor USD36,2 triliun per Mei 2025, dan terus membengkak tanpa terkendali. Kepala Riset FX Global Deutsche Bank, George Saravelos, menegaskan, pasar keuangan global semakin khawatir dengan stabilitas dolar AS.
"Kombinasi dari berkurangnya minat terhadap aset AS dan defisit fiskal yang membengkak adalah sumber ketidakstabilan utama," tulis Saravelos.
Gerakan dedolarisasi BRICS dinilai semakin mempercepat penurunan dominasi dolar AS. Negara-negara anggota blok ekonomi tersebut, termasuk China dan Rusia, gencar mempromosikan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan.
Standard Chartered dan Deutsche Bank sepakat bahwa tekanan terhadap dolar AS tidak hanya berasal dari faktor eksternal, tetapi juga lemahnya kebijakan fiskal AS. Kedua bank ini mempertanyakan kemampuan AS mempertahankan status dolar sebagai mata uang cadangan dunia.
Para analis memberikan peringatan, jika tren ini terus berlanjut, dolar AS bisa kehilangan statusnya sebagai mata uang global utama. Hal ini berpotensi memicu gejolak di pasar keuangan internasional.
Pemerintah AS diharapkan segera mengambil langkah konkret untuk mengendalikan defisit anggaran dan memulihkan kepercayaan investor. Namun, dengan polarisasi politik yang masih tinggi, solusi jangka pendek sulit diwujudkan.
Menyikapi kondisi tersebut, pelaku pasar mulai mengurangi eksposur terhadap aset berbasis dolar. Beberapa negara bahkan dilaporkan mulai diversifikasi cadangan devisa ke emas dan mata uang alternatif.










