Benar Korupsi Menkominfo Jegal Anies?

Benar Korupsi Menkominfo Jegal Anies?

Nasional | BuddyKu | Selasa, 23 Mei 2023 - 08:58
share

Beberapa hari lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia (Menkominfo) Johnny G. Plate resmi ditahan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Kader Partai Nasdem tersebut ditahan atas dugaan kasus korupsi dalam proyek menara BTS 4G dan program BAKTI Kominfo. Lantas, apakah penangkapan ini membuat elektabilitas Partai Nasdem anjlok? Dan lebih jauh lagi, apakah berpengaruh pada koalisi perubahan dan pencapresan Anies?


PinterPolitik.com

Politik adalah cara merampok dunia. Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa, W. S. Rendra

Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia (Menkominfo), Johnny G. Plate resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus korupsi proyek menara BTS 4G dan program BAKTI Kominfo. Orang yang juga jadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) dari Partai Nasdem ini dijerat dengan Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menteri itu ditaksir merugikan negara sekitar Rp8 triliun. Plate sendiri menjadi menteri ke-5 Jokowi yang tersandung kasus korupsi, setelah sebelumnya ada nama seperti Imam Nahrawi selaku mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), dan nama-nama lainnya.

Surya Paloh selaku Ketua Umum (Ketum) Partai Nasdem mengungkapkan kesedihannya dan betapa terpukulnya Nasdem atas kasus ini. Meski begitu, Plate tidak dipecat oleh Nasdem, karena mereka memegang asas praduga tak bersalah.

Selain itu, KPU juga menyatakan bahwa status Plate sebagai bakal caleg dari Nasdem belum digugurkan, karena belum adanya putusan hukum yang berkekuatan tetap atau inkracht .

Beberapa pihak kemudian menilai bahwa kasus ini akan berdampak pada Nasdem di Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Akan tetapi, apakah hal itu memang benar?

image 40

Game Over?

Dalam percaturan politik pemilu, adalah hal yang lumrah dan wajib bagi setiap partai politik untuk menemukan circle atau koalisinya masing-masing. Untuk Pemilu 2024 saja sudah ada beberapa koalisi yang terbentuk, mulai dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), dan Koalisi Perubahan.

Fenomena ini dapat dijelaskan lewat teori aliansi strategis. Teori ini menjelaskan bahwa dua atau lebih entitas independen akan bergabung untuk tujuan tertentu dengan jangka waktu yang tidak menentu. Sementara itu, menurut Ranjay Gulati, aliansi strategis adalah sebuah kombinasi antara dua atau lebih organisasi untuk mencapai tujuan bersama dengan berbagi sumber daya, dan informasi yang saling menguntungkan. Hal itu dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, yang tidak bisa dicapai oleh masing-masing entitas tersebut dengan kekuatannya sendiri, sehingga penggabungan ini memperbesar kemungkinan untuk mencapainya.

Meski lebih sering digunakan untuk analisis pelaku bisnis, teori ini juga bisa menjelaskan kecenderungan partai politik untuk melakukan aliansi. Dengan melakukan koalisi atau aliansi, maka partai-partai tersebut bisa mencapai tujuan strategis mereka, seperti mendapat kursi di parlemen, hingga pencalonan dan pemenangan presiden yang diusung oleh mereka.

Meski tidak semua partai akan mendapat jatah presiden atau wakil presiden, masih banyak kue yang bisa didapatkan oleh mereka. Jatah kursi menteri, petinggi BUMN, dan instansi lainnya, tetap menggiurkan bagi partai untuk bergabung ke dalam koalisi yang kuat dan memiliki kemungkinan menang terbesar.

Nasdem sendiri saat ini tergabung ke dalam Koalisi Perubahan, bersama dengan Partai Demokrat dan PKS. Ketiga partai tersebut telah sepakat untuk mengusung Anies Baswedan sebagai capres nanti. Bisa dibilang, koalisi ini adalah oposisi paling kuat bagi Ganjar Pranowo, dengan PDIP di belakangnya.

Dengan ditetapkannya Johnny G. Plate sebagai tersangka korupsi, besar dugaannya itu memang akan mempengaruhi Nasdem secara khusus, dan lebih luas lagi pada Koalisi Perubahan dan pencapresan Anies. Surya Paloh sendiri mengakui bahwa kasus ini merupakan pukulan bagi partainya dan yakin akan berefek pada elektabilitas Nasdem.

Apalagi, Surya Paloh juga menjelaskan bagaimana persepsi dan kepercayaan publik begitu penting bagi sebuah partai politik. Jadi, meskipun pada awalnya penangkapan Plate mungkin tidak berdampak langsung pada elektabilitas partai, persepsi yang muncul bahwa Plate adalah seorang pejabat yang korupsi dan berasal dari Partai Nasdem bisa menciptakan persepsi yang negatif.

Ujang Komaruddin, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia menjelaskan bahwa kasus ini akan bertambah buruk efeknya bagi Nasdem apabila upaya penyelesaiannya terus bergulir hingga mendekati waktu Pemilu nanti. Akibatnya, Nasdem bisa kehilangan suara dari para pemilihnya.

Ujang juga menyebutkan soal pengaruhnya pada Anies, apalagi jika ada isu lain yang menambah kesan negatif pada Nasdem, terutama soal aliran dana korupsi tersebut. Selain itu, sebenarnya elektabilitas Anies sendiri sudah kalah dalam berbagai survei sebelum kasus ini mencuat. Lewat survei lembaga indikator politik, tercatat Anies tertinggal sekitar 5 persen tingkat keterpilihannya dari Ganjar dan Prabowo.

Dengan prediksi besarnya pengaruh kasus ini kepada Nasdem, apakah pengaruh kasus ini akan mengakhiri mimpi Anies dalam Pilpres?

image 41

Anies Bukan Nasdem?

Ada satu hal penting yang membedakan Anies dengan bacapres lainnya, yaitu fakta bahwa dia bukan kader salah satu partai, termasuk Nasdem sekalipun. Bahkan dalam perjalanannya menjadi Gubernur DKI Jakarta, dirinya bukanlah seorang kader partai mana pun.

Jika kita bandingkan dengan bacapres lainnya seperti Ganjar yang merupakan kader PDIP atau Prabowo yang merupakan Ketum Gerindra, maka terdapat perbedaan soal keterikatan mereka dengan partai pengusung. Bisa dibilang, seharusnya masalah internal partai tidak dikaitkan pada dirinya sebagai capres non-kader partai.

Mungkin kita bisa mengingat istilah petugas partai, yang kembali diperdebatkan saat Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri menggunakan istilah tersebut saat proses peresmian pengusungan Ganjar sebagai capres dari PDIP. Istilah ini sempat memicu perdebatan soal keberpihakan presiden nantinya, apakah pada partai atau negara.

Seperti yang pernah disampaikan oleh pengamat politik Rocky Gerung soal perbedaan Anies dan Presiden Jokowi. Menurutnya, Anies tidak seperti Jokowi yang memiliki peran vital partai dibelakangnya. Rocky juga menambahkan bahwa fenomena Anies ini membawa pergeseran persepsi masyarakat, sehingga tidak lagi melihat siapa partai di belakang capres, namun lebih kepada figur capres itu sendiri.

Selain itu, sifat pendukung Anies yang cukup luas dan cair juga menjadi faktor lainnya. Anies sendiri mendapat banyak dukungan relawan dan kelompok kelompok Islam. Kelompok ini tidak sepenuhnya berasal dari Nasdem, namun juga banyak dari PKS dan Demokrat atau komunitas masyarakat lainnya.

Bahkan Sahrin, yang merupakan relawan pendukung Anies Baswedan, Amanat Indonesia (ANIES) memperkenalkan istilah petugas rakyat dalam permintaannya kepada Anies saat deklarasi dukungan kelompok tersebut.

Maka dari itu, tidak bisa dikatakan bahwa penangkapan Plate telah menggagalkan Anies dalam pilpres lebih cepat. Tentu hal itu akan berdampak pada Nasdem, tapi bagi Anies sepertinya tidak berefek terlalu banyak. Utamanya, karena dukungannya yang cukup luas dan cair dari banyak masyarakat dan relawan.

Sebenarnya, dukungan Nasdem kepada Anies juga merupakan hal yang mengejutkan. Karena sebagai anggota koalisi pemerintah sampai, tindakan itu akhirnya membuat mereka dicap melakukan manuver pembangkangan.

Namun apapun itu, semoga hasil Pilpres nanti adalah yang terbaik bagi Indonesia. Dan lebih besar lagi adalah harapan bahwa dalam proses dan pelaksanaannya nanti tidak diwarnai oleh tindak kecurangan, dan demokrasi bisa berjalan sebaik mungkin di tingkat nasional. Biarkan pesta demokrasi menghasilkan hasilnya dengan sebaik mungkin dan sesuai dengan faktanya. Karena hasil pemilu yang jujur adalah kehendak rakyat seluruhnya. (R87)

Topik Menarik