Jejak Generasi Intelektual yang Tersapu Gelombang Politik 1965 hingga Terkurung di Luar Negeri

Jejak Generasi Intelektual yang Tersapu Gelombang Politik 1965 hingga Terkurung di Luar Negeri

Berita Utama | okezone | Kamis, 29 Februari 2024 - 00:45
share

JAKARTA - Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda dengan PPI Amsterdam, menggelar forum diskusi bertajuk Menyelami Kehidupan Eksil Indonesia di Belanda: Generasi Intelektual Bangsa. Diskusi tersebut dihadiri sebanyak 263 peserta dari berbagai penjuru dunia, baik secara daring maupun luring.

Acara ini menyajikan wawasan mendalam tentang pengalaman eksil melalui cerita, dan pandangan tiga narasumber yang terkait erat dengan peristiwa tersebut; Lea Pamungkas dari Organisasi Watch65, serta pasangan suami istri Sungkono dan Wati.

Di awal diskusi, sebuah kalimat puisi yang penuh makna dibacakan Dan mereka yang menimba ilmu yang bisa membuat Indonesia maju, dilarang pulang. Penggalan tersebut mewakili kondisi ratusan pelajar Indonesia yang terjebak dalam pusaran politik Indonesia tahun 1965, diantaranya adalah Sungkono.

Sungkono pun memulai ceritanya dengan nada yang penuh perenungan, Saya termasuk 30 mahasiswa yang diberangkatkan ke Rusia oleh Kementrian Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu pengetahuan, kami diberi gelar Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), menegaskan kewajiban kami mengabdi kepada negeri setelah menyelesaikan studi, ujar Sungkono.

Sebelum berangkat, Menteri Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu pengetahuan menekankan pentingnya belajar dengan serius, agar kelak dapat memanfaatkan kekayaan Indonesia untuk kesejahteraan rakyatnya.

"Sebagai simbol komitmen, kami menerima sebuah gong, yang seharusnya dikumandangkan sebagai tanda telah menuntaskan misi kami sepulang ke tanah air, sambung Sungkono dalam ceritanya, yang diterima Okezone, Kamis (29/2/2024).

Namun, tragisnya, gong milik Sungkono tidak pernah berdentang, wujud dari mimpi dan harapan yang terkubur bersama peristiwa politik yang mengguncang Indonesia. Pasca insiden G30S, Sungkono beserta mahasiswa lainnya harus menghadapi serangkaian pemeriksaan intensif terkait kemungkinan keterlibatan mereka dalam peristiwa tersebut, meskipun dengan tegas menyatakan ketidaktahuannya serta tidak terlibat, sikapnya yang menolak untuk mengutuk Presiden Soekarno diinterpretasikan sebagai tindakan tidak setia terhadap pemerintahan baru. Akibatnya pada tahun 1966, Sungkono kehilangan identitas dan haknya sebagai warga negara Indonesia.

Pelajar bukan satu-satunya yang menjadi bagian eksil. Dampak politik tersebut merambah lebih luas, mencakup setidaknya lima kelompok lain yang terdampak, termasuk perwakilan Indonesia di organisasi internasional, advokat demokrasi Indonesia, delegasi negara dalam perayaan kenegaraan, wartawan, serta para diplomat yang sedang bertugas.

Contohnya, Sutrisno (ayah dari Wati), yang saat itu menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Vietnam, juga menghadapi pencabutan kewarganegaraan setelah menolak untuk bekerja di bawah pemerintahan orde baru, konsekuensinya, ia beserta seluruh keluarga harus kehilangan identitas mereka sebagai warga negara Indonesia.

Topik Menarik