Diponegoro: Saya Tidak Mengincar Gelar Sultan Yogyakarta
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Dalam cerita dahulu sudah dikisahkan Diponegoro sangat mengagumi kesalehan Pangeran Dipowiyono, ayah dari adik iparnya Tumenggung Dipowiyono. Tumenggung Dipowiyono sendiri ikut serta ke pengasingan di Manado.
Diponegoro mengatakan bahwa Pangeran Dipowiyono memang menjadi panutan semua orang keraton karena kesalehannya. Bahkan karena tindak-tanduk Pangeran Dipowiyono yang selalu menjalankan perintah nabi dan selalu menjahui larangan nabi, Diponegoro sampai menilai bahwa Pangeran Dipowiyono meninggal sebagai wali.
Dalam kisah terdahulu juga diceritakan Diponegoro kambuh lagi penyakit malarianya. Dia harus istirahat dan saat ditawari Letnan Knoerle obat Eropa, dia tidak berkenan minum obat-obatan dari Eropa karena dia menganggap obat-obatan tradisional Jawa lebih berkhasiat dibanding dengan obat-obat Eropa (kisah tersebut bisa dibaca DI SINI ).
Pembaca yang budiman, hari itu sudah berganti hari menjadi hari Selasa tanggal 18 Mei 1830. Cuaca laut sangat cerah di pagi hari, sehingga kapal Pollux melaju dengan normal.
Jam 10 pagi Letnan Knoerle berkunjung ke kabin Diponegoro. Setelah Diponegoro melihat Letnan Knoerle, Diponegoro wajahnya berseri-seri dan kemudian menawarkan makan pagi bersama-sama. Mendapat tawaran itu Letnan Knoerle tentu saja senang, sehingga mereka makan bersama sambil ngobrol-ngobrol menghabiskan waktu pagi.
Hidangan yang disantap berupa kentang dengan menggunakan sambal dan ada juga biskuit. Minuman yang disuguhkan Raden Ayu Dipowiyono, adik kandung Diponegoro berupa teh hangat sehingga cocok diminum di pagi hari.
Raden Ayu Dipowiyono megucapkan terima kasih kepada Letnan Knoerle karena sehari sebelumnya Letnan Knoerle mengirimkan kue beras yang lezat. Kue itu juga dikirimkan oleh Letnan Knoerle kepada Raden Ayu Retnoningsih, istri Diponegoro.
Dalam pertemuan itu Diponegoro mengatakan kepada Letnan Knoerle bahwa kini usianya sudah menginjak 44 tahun. Mimpinya selama ini yang belum kesampaian adalah menjadi pemimpin tertinggi Islam di Jawa.
Diponegoro menegaskan sekali lagi dan kelak akan diulang-ulang di Babad Diponegoro versi Manado bahwa dia tidak pernah mengincar gelar sultan Yogyakarta.
Ketika Diponegoro mengatakan seperti itu, Letnan Knoerle hanya diam mendengarkan. Diponegoro menambahkan bahwa di Keraton Yogyakarta sudah ada keturunan penguasa yang sah yang kelak akan naik takhta sebagai pengganti raja.
Diponegoro sekali lagi mengatakan bahwa dia tidak ada terlintas sama sekali dalam pikirannya saat Perang Jawa berkobar, untuk menggulingkan Sultan Yogyakarta yang masih muda, Sultan Hamengku Buwono V (bertakhta 1822-1855).
Memang sejak dahulu ketika Daendels (menjabat 1808-1811) berkuasa di Jawa menjadi gubernur jenderal, Daendels sudah menganugerahkan Adipati Anom ketika pada tahun 1810 ayahnya Pangeran Surojo dinaikkan Daendels menjadi Pangeran Wali atau Sultan Hamengku Buwono III menggulingkan Sultan kedua.
Mendapat penganugerahan itu Diponegoro menolak karena hal itu merupakan perbuatan dosa. Dia merasa bukan lahir sepenuhnya dari darah ningrat. Walaupun ayahandanya seorang raja, tetapi ibundanya Raden Ayu Mangkorowati adalah orang biasa dan statusnya sebagai istri selir atau garwa ampeyan.
Setelah Kolonial Belanda meninggalkan tanah Jawa karena dikalahkan oleh tentara Inggris di bawah kekuasaan Letnan Gubernur Raffles (menjabat 1811-1816), dalam Babad Diponegoro versi Manado, Diponegoro juga mengisahkan bahwa Raffles mengatakan rencananya akan menggulingkan lagi Sultan kedua dan akan menaikkan Putra Mahota Pangeran Surojo sebagai Sultan Hamengku Buwono III. Raffles juga mengakui bahwa Diponegoro dijadikan sebagai Adipati Anom atau Putra Mahkota.
Mendapat anugerah itu, lagi-lagi Diponegoro menolaknya karena sudah ada penerus raja Yogyakarta yang sah yaitu putra dari permaisuri Sultan ketiga. Untuk kali ini agar semua orang Yogyakarta semakin yakin dengan keputusannya, maka dia mengangkat sumpah dengan disaksikan oleh dua anggota Suranatan (ulama) yang merupakan sahabatnya yaitu Kiai Rahmanudin dan Kiai Ahmad Ngusman.
Kedua orang itu kelak mendapatkan jabatan di Keraton Yogyakarta. Kiai Rahmanudin menjadi penghulu Yogyakarta (bertugas 1812-1823). Sedangkan Kiai Ahmad Ngusman menjadi kepala Suronatan dan guru pribadi adik Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono IV (bertakhta 1814-1822).
Bagaimana kisah-kisah berikutnya saat Sang Pangeran di Kapal Pollux? Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya!
Penulis: Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.
Bacaan Rujukan
Carey, Peter. 2022. Percakapan dengan Diponegoro . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Lilik Suharmaji. 2020. Geger Sepoy, Sejarah Kelam Perseteruan Inggris dengan Keraton Yogyakarta 1812-1815. Yogyakarta: Araska.



