Yuk Ketahui, Gaes! Ini lho Sejarah Rasisme terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia
JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Segelintir etnis Tionghoa di Indonesia memiliki hak istimewa pada era Orde Baru. Mereka diberi fasilitas investasi hingga menjadi konglomerat.
Kelompok kecil ini pada akhirnya dianggap oleh sebagian orang seolah mewakili etnis Tionghoa secara keseluruhan. Mereka dianggap sebagai kelompok dengan kekuatan dan kekayaan yang menipu oleh penduduk asli Indonesia.
Kebencian terhadap kelompok-kelompok Tionghoa (sering disebut dengan stereotip Cina, red) sudah ada sejak 400 tahun yang lalu, saat Kongsi Dagang Belanda (VOC) datang ke Indonesia.
Pada awal kedatangan VOC, hubungan masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lokal saat itu setara dengan pedagang lainnya. Namun, kemudian VOC menjadikan orang Tionghoa sebagai mitra dagang dan pemungut pajak yang dianggap sebagai perlakuan istimewa bagi sebagian besar orang di wilayah Batavia.
Akibat adanya dendam, etnis Tionghoa kerap menjadi korban dalam peristiwa konflik yang pernah terjadi, mulai dari peristiwa Geger Pacinan (Chinezenmoord) 1740 hingga Kerusuhan Mei 1998.
Tragedi pembantaian yang terjadi selama Perang Jawa menambah tingkat permusuhan antara orang Jawa dan Tionghoa, di mana orang Jawa menganggap orang Tionghoa sebagai pencatut dan pemeras.
Kebencian yang mengakar ini tidak mampu direkonsiliasi dan terus berkembang di Indonesia. Pada awal abad ke-20, peristiwa rasial terhadap Tionghoa kembali tercatat, yaitu saat kerusuhan Solo tahun 1912 dan kerusuhan Kudus tahun 1918.
Pada masa revolusi terjadi gerakan anti-Tionghoa di Tangerang pada Mei-Juli 1946, juga kerusuhan di Bagansiapiapi, Riau tahun 1946 dan Palembang pada Januari 1947.
Tragedi berikutnya terhadap etnis Tionghoa terjadi pada tahun 1965. Tiongkok yang saat itu menjadi negara komunis besar, dianggap berperan dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Banyak orang Tionghoa yang menjadi korban karena dianggap komunis dan mata-mata Tiongkok. Mereka diculik, diasingkan, dan dibantai secara massif tanpa diselidiki atau melalui proses hukum yang seharusnya.
Kemudian saat krisis moneter menghantam Indonesia tahun 1998, oknum-oknum yang berkepentingan politik mengkambinghitamkan orang Tionghoa atas krisis yang terjadi.
Isu rasial yang terjadi merupakan akibat dari ketimpangan ekonomi dan prasangka buruk terhadap orang-orang keturunan Tionghoa.
Dalam kerusuhan Mei 1998 di beberapa daerah, banyak orang Tionghoa yang menjadi korban kekerasan, penjarahan, dan diskriminasi berat lainnya. Kasus ini belum terpecahkan dan pelakunya belum pernah diselidiki tuntas.
Dalam upaya penyelesaiannya, Presiden Abdurrahman Wahid menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 untuk mencabut Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina.
Selain itu, pada 19 Januari 2001, Menteri Agama Republik Indonesia menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur yang disahkan dengan dikeluarkannya keputusan No. 13 Tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi yang merayakannya).
Kemudian dilanjutkan dengan diakuinya agama Konghucu sebagai salah satu aliran kepercayaan di Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri No. 447/805/Sj yang membatalkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 446/74054 Tahun 1978 yang tidak mengakui Konghucu sebagai agama resmi. Di dalamnya disebutkan bahwa penduduk Indonesia memeluk 6 Agama yakni; Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Penulis: M Hafizh Fajri
Mahasiswa Universitas Negeri Malang
Daftar Sumber
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan. 1999. T emuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Publikasi Komnas Perempuan.
Salim, Lydiana. Ramdhon, Akhmad. 2020. Dinamika Konflik Kerusuhan Mei 1998 di Kota Surakarta Melalui Perspektif Korban. Prodi Sosiologi, FISIP, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

