Kisah Iswahyudi yang Gagal Jadi Dokter dan Masuk Angkatan Udara Belanda, Perintis TNI-AU
JAKARTA Kisah pemuda yang gugur menjadi kusuma bangsa di masa perang kemerdekaan setidaknya menjadi insiprasi bagi kalangan milenial saat ini. Salah satunya Iswahyudi, sosok yang dikenang karena jasanya sebagai salah satu perintis TNI Angkatan Udara.
Iswahyudi lahir di Surabaya, pada 15 Juli 1918. Memasuki usia sekolah, sama seperti anak-anak lain seusianya yang boleh dibilang beruntung, Iswahyudi bisa mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Surabaya.
Setelah tamat dari HIS, bocah Iswahyudi melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikutnya di Surabaya, yakni Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Tamat dari MULO, Iswahyudi melanjutkan studinya ke sebuah sekolah menengah di Malang yaitu Algemene Middelbare School (AMS),
Di sinilah benih cita-citanya mulai tumbuh, ingin menjadi dokter. Untuk mewujudkan keinginannya menjadi sokter Iswahyudi menempuhnya di Nederlandische Indische Artsen School (NIAS) yang berada di Surabaya. Namun, opsesinya untuk menjadi pilot sama kuat dengan cita-cita menjadi dokter. Ini yang membuatnya tidak fokus dan akhirnya gagal menjadi dokter.
Untuk menuntaskan opsesinya, Iswahyudi pindah ke Militaire Luchtvaart Opleiding School, penerbangan Belanda di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Iswahyudi menyelesaikan pendidikan di sekolah penerbangan itu pada 1941 dan sukses meraih predikat Klein Militaire Brevet.
Tiba di Surabaya, bukan tanpa tantangan dan risiko. Ia bahkan sempat ditahan oleh otoritas setempat kala itu, lantaran dicurigai sebagai mata-mata Belanda. Beruntung, ia berhasil bebas atas bantuan teman temannya. Bahkan Iswahyudi diterima sebagai pegawai pemerintah Kota Surabaya, yang saat itu di bawah kendali Jepang.
Dinamika perang kian cepat. Jepang akhirnya menyerah kalah setelah Kota Nagasaki dan Hiroshima luluh lantak oleh bom atom. Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1946. Bersamaan dengan itu, Iswahyudi dan para pemuda yang lain berjuang mempertahankan Kota Surabaya dan merebut kantor-kantor yang masih dikuasai Jepang. Iswahyudi memimpin para pemuda memasang bendera merah putih di Kantor Jawatan Kereta Api.
Pada Desember 1945, Iswahyudi bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawatan Penerbangan di Yogyakarta. Di sini dia diangkat sebagai pembantu utama Adisucipto karena kecakapannya.
Setelah beberapa lama ia ditempatkan di Yogyakarta, ia kemudian diserahi jabatan sebagai komandan Pangkalan Udara Gadut, dekat Bukittinggi, Sumatera Barat. Di tempat baru ini, Iswahyudi bersama Abdul Halim Perdanakusuma mulai membentuk dan menyusun organisasi Angkatan Udara di Sumatera.
Selanjutnya, dia diberi tugas khusus untuk menjalin hubungan udara dengan begara-negara lain guna mendapatkan senjata. Untuk melaksanakan tugas ini, pada 14 Desember 1947, Iswahyudi bersama Halim Perdanakusuma terbang ke Bangkok, Thailand. Mereka terbang dengan menggunakan pesawat Avro Anson bernomor registrasi RI-003.
Nasib nahas menimpa keduanya saat perjalanan pulang ke Indonesia. Itu terjadi ketika pesawat melintas di atas Negara Bagian Perak, Semenjung Malaya atau Malaysia. Cuaca buruk, kabut tebal dan angin kencang mengguncang Avro Anson RI-003 hingga jatuh.
Upaya pencarian jenazah pun dilakukan. Sehari kemudian jenazah Halim Perdanakusuma berhasil ditemukan untuk kemudian dimakamkan di daerah setempat. Beberapa tahun kemudian tulang-tulangnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta. Sedangkan jenazah Iswahyudi tidak ditemukan. Kedua putra terbaik bangsa gugur saat menjalankan tugas demi bangsa dan negara. Semangat mereka tetap menjadi warisan yang tidak lekang dalam catatan sejarah. Atas semangat juang dan pengorbanan jiwa raga, Marsekal Udara (Anumerta) Iswahyud mendapat gelar pahlawa.
Gelar itu dikukuhkan pada 9 Agustus 1975, berdasarkan Keppres No.63/TK/1975. Tidak hanya itu, nama Iswahyudi diabadikan sebagai nama Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) di Maospati, Magetan, Jawa Timur.
(don)




