Sertifikasi Influencer Dianggap Penting, Dosen UMY Ungkap Alasannya  

Sertifikasi Influencer Dianggap Penting, Dosen UMY Ungkap Alasannya  

Terkini | inews | Rabu, 5 November 2025 - 15:53
share

JAKARTA, iNews.id - Pemerintah tengah mengkaji wacana sertifikasi bagi influencer di Indonesia. Merespons hal itu, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Filosa Gita Sukmono menilai wacana tersebut sangat dibutuhkan. Mengapa?

Menurutnya, sertifikasi dapat menjadi instrumen penting untuk membangun ekosistem digital yang lebih sehat dan profesional. Sebab, beberapa konten influencer dinilai berisi hoaks dan dapat memecah belah masyarakat.

“Sertifikasi influencer bisa dilihat dari dua sisi: keterampilan dan etika. Banyak konten kreator yang belum memahami regulasi yang berlaku di Indonesia. Kadang mereka mengunggah konten yang justru berpotensi memecah belah atau menyebarkan informasi yang belum terverifikasi. Dengan adanya sertifikasi, influencer bisa dinilai secara profesional,” ujar Filosa dikutip dari laman Kemdikbud, Rabu (5/11/2025).

Filosa menjelaskan, pesatnya pertumbuhan ekonomi digital membawa manfaat ekonomi yang besar. Namun, juga melahirkan berbagai persoalan etika komunikasi.

Bagaimana tidak, kata Filosa, banyak kreator yang mengejar konten viral dan monetisasi tanpa memperhatikan akurasi dan tanggung jawab sosial.  

“Perkembangan ekonomi digital luar biasa cepat, tetapi pemerintah belum punya alat yang cukup kuat untuk melakukan filter. Banyak yang mengaku sebagai konten kreator meski belum punya kompetensi yang memadai,” ungkap dia.  

Tak hanya itu, China dan Singapura juga telah menerapkan regulasi digital yang lebih ketat untuk menjaga kualitas informasi. Sedangkan, Indonesia perlu merumuskan model kebijakan yang sesuai dengan karakter ruang digital nasional yang bebas, dinamis, dan inklusif.  

Meski begitu, ia mengakui wacana sertifikasi influencer bisa memicu perdebatan, terutama terkait kekhawatiran pembatasan kebebasan berekspresi. Oleh karenanya, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan komunikasi publik yang efektif agar kebijakan ini dipahami sebagai bentuk pembinaan, bukan pembatasan.  

“Poin pentingnya bukan sekadar mengukur kemampuan teknis influencer dalam memproduksi konten, tetapi juga memastikan pemahaman mereka terhadap regulasi, literasi digital, dan moralitas publik,” tegasnya.  

Meski mendukung, Filosa mengingatkan bahwa penerapan sertifikasi harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap, mengingat dampaknya yang besar terhadap ekosistem digital. 

“Kebijakan ini bisa mengubah dinamika ruang digital secara signifikan. Karena itu, perlu kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak agar hasilnya tidak menimbulkan distorsi,” ucap Filosa.

Topik Menarik