BNI Perketat Kredit Valas Demi Jaga Kinerja Saat Rupiah Melemah
IDXChannel - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mengambil langkah antisipatif untuk menjaga kinerja positif di tengah pelemahan nilai tukar. Salah satunya dengan meningkatkan kehati-hatian dalam menyalurkan kredit berdenominasi valuta asing (valas).
Corporate Secretary BNI, Okki Rushartomo mengatakan, perseroan secara berkelanjutan menerapkan langkah-langkah mitigasi risiko yang ketat untuk meredam dampak negatif dari dinamika ekonomi global.
"BNI secara berkala terus menerapkan manajemen risiko yang ketat, salah satunya dengan melakukan stress test terhadap kondisi makro ekonomi termasuk pergerakan nilai tukar guna mengantisipasi agar tidak berdampak terhadap kualitas aset," kata Okki dalam keterangan resmi, Rabu (9/4/2025).
Menyikapi fluktuasi nilai tukar rupiah saat ini, BNI lebih selektif dalam menyalurkan kredit valas. Kredit valas yang diberikan akan lebih diprioritaskan kepada debitur yang memiliki natural hedge atau lindung nilai alami dalam model bisnis mereka.
Terkait ketersediaan likuiditas valas, Okki menegaskan posisi likuiditas dalam mata uang Dolar AS BNI masih berada pada level yang sangat memadai. "BNI menjaga kecukupan likuiditas di atas rasio yang ditetapkan oleh regulator," kata dia.
Saat ini, rasio Liquidity Coverage Ratio (LCR) valas BNI tercatat sebesar 151,72 persen dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) valas sebesar 135,13 persen.
Kedua rasio tersebut jauh melampaui batas minimum yang ditetapkan oleh regulator. Selain itu, rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) BNI tetap terjaga dalam batas yang ditetapkan oleh manajemen.
BNI juga memiliki posisi alat likuid dalam bentuk dolar AS yang mencukupi dan dijaga pada level yang lebih tinggi dari risk appetite internal bank.
Dengan pengelolaan risiko yang disiplin dan posisi likuiditas yang kuat, BNI optimistis dapat mempertahankan stabilitas kinerja perusahaan dan terus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tantangan pasar global.
"Hal ini mencerminkan kesiapan BNI dalam menghadapi potensi tekanan likuiditas yang mungkin timbul akibat dinamika nilai tukar global," kata Okki.
(Febrina Ratna Iskana)