Mengenal Pararaton, Kitab yang Mengisahkan Perjalanan Raja Singasari dan Majapahit
MALANG, iNews.id - Kitab Pararaton menjadi salah satu dari beberapa temuan sejarah yang mengisahkan dua kerajaan besar di Nusantara. Kitab ini ditulis untuk menggambarkan sejarah dari Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan besar di masanya.
Pararaton ditulis menggunakan prosa berbahasa Jawa pertengahan, yaitu peralihan dari bahasa Jawa kuno ke bahasa Jawa baru. Judul Pararaton berasal dari kata dasar ratu, yang dalam bahasa Jawa bermakna raja atau pemimpin rakyat.
Tentu saja ini berbeda dengan pengertian ratu dalam bahasa Indonesia, yang bermakna raja perempuan atau permaisuri. Kata ratu dalam bahasa Jawa masih satu akar dengan kata datu dalam bahasa Melayu Kuno, yang berubah menjadi datuk dalam bahasa Malayu Baru.
Dari pengertian di atas, Pararaton dapat dimaknai sebagai kisah para raja, khususnya raja-raja Dinasti Rjasa atau Rjasawanga, yang berkuasa di Kerajaan Tumapl, Singhasri dan Majapahit atau Wilwatikta, sebagaimana dikutip dari buku "Pararaton : Biografi Para Raja Singhasari dan Majapahit".
Penyebutan judul Pararaton terdapat pada bagian kolofon naskah, sedangkan judul yang tertulis pada bagian awal ialah Katuturanira Ken Arok.
Tokoh bernama Ken Arok merupakan cikal bakal Dinasti Rjasa yang mendapat porsi paling banyak dalam naskah ini dibanding para raja lainnya. Kisah kehidupan Ken Arok yang tertulis pada bagian awal Pararaton, banyak dibumbui mitos dan peristiwa ajaib yang terkesan tak nyata.
Misalnya, dia diceritakan mampu terbang menggunakan sepasang daun siwalan sebagai sayap, serta dari ubun-ubun kepalanya pernah keluar kawanan kelelawar yang menyerbu tanaman jambu milik gurunya. Namun, Pararaton juga mengisahkan peristiwa sejarah, yaitu Ken Arok menaklukkan Negeri Daha pada aka 1144 (1222 Masehi). Angka tahun ini ternyata cocok dengan yang tertulis dalam naskah Nagaraktgama.
Hasil Drawing Playoff Piala Dunia 2026: Italia vs Wales, Irak Nanti Pemenang Bolivia vs Suriname!
Berbeda dengan Ngaraktgama yang menyebut penulisnya dengan nama samaran Prapaca, sampai saat ini belum ada informasi siapakah pujangga yang pertama kali menyusun Pararaton. Sebenarnya ini tidaklah aneh karena pada umumnya naskah sastra berbahasa Jawa Pertengahan bersifat anonim, sebagai contoh, Kidung Harawijaya, Kidung Rangga Lawe, Kidung Sorandaka, Kidung Sunda, dan Kidung Sudyana, semuanya anonim, tidak mencantumkan nama penulisnya.
Mengenai tahun pembuatannya, Pararaton yang diterbitkan JLA Brandes (1897) menyebutkan, naskah ditulis pada aka 1535 (1613 Masehi), sedangkan yang diterbitkan Agung Kriswanto (2009) menyebutkan naskah ditulis pada aka 1522 (1600 Masehi).
Oleh karena ada dua versi angka tahun, dapat disimpulkan dua-duanya tahun penyalinan, bukan tahun penyusunan. Tapi kedua versi Pararaton yang bertahun aka 1535 maupun yang bertahun aka 1522 sama-sama ditutup dengan peristiwa gunung meletus pada wuku Watugunung tahun aka 1403 (1481 Masehi).
Peristiwa ini berselang 3 tahun setelah kematian seorang raja di istana Majapahit pada aka 1400 (1478 Masehi). Raja yang meninggal itu bukanlah raja terakhir Dinasti Rjasa karena masih ada r Girndrawardhana Dyah Ranawijaya yang namanya tertulis dalam Prasasti Pak bertahun aka 1408 (1486 Mase- hi). Anehnya, nama raja ini tidak disebutkan dalam Pararaton.
Dengan demikian, dapat diperkirakan Pararaton disusun sesudah tahun 1481 dan sebelum tahun 1486. Kemungkinan kedua, penulis Pararaton sengaja tidak mengisahkan r Girndrawardhana Dyah Ranawijaya, karena saat itu pusat pemerintahan Dinasti Rjasa sudah pindah ke Keling, tidak lagi di Majapahit.









