[OPINI]: Potret Realitas Purwakarta, dalam Bingkai Dilematis APBD 2024

[OPINI]: Potret Realitas Purwakarta, dalam Bingkai Dilematis APBD 2024

Terkini | purwakarta.inews.id | Senin, 8 April 2024 - 22:20
share

Oleh: Agus M Yasin*

Kondisi keuangan daerah dari tahun-tahun sebelumnya, akan berpengaruh pada realisasi APBD di tahun selanjutnya.

TERHADAP hal itu, kebanyakan kalangan sering kali lebih menyorot pada salah satu sisi pendapatan yakni problematika realisasi PAD. Padahal rasio PAD itu sendiri terhadap APBD, tidaklah lebih signifikan dibandingkan dengan komponen pendapatan lainnya.

Sebagaimana diketahui di tahun 2023 lalu, rasio PAD terhadap APBD Purwakarta kurang lebih berada di kisaran 19 persen. Dan persoalan yang terjadi pada saat evaluasi menghadapi proses perubahan APBD 2023, dengan realisasi pencapaian PAD 62,2 persen, ditambah hasil perubahan memperoleh tambahan beberapa persen.

Ada sinyalemen pemaksaan kehendak untuk meningkatkan pendapatan, bukan dilakukan rasionalisasi pada program-program yang diduga berbau politis.

Sehingga tidak terelakkan, pada akhir pelaksanaan APBD 2023 menimbukan terhambatnya pembayaran satu bulan TPP dan Siltap. Termasuk terjadinya tunda bayar pekerjaan terhadap pihak ketiga sesuai kontrak.

Lantas bagaimana pengaruhnya pada pelaksanaan APBD 2024? Ini jelas memberikan dampak yang buruk, dengan harus adanya perubahan penjabaran APBD 2024 yang sudah direncanakan sebelumnya dan refocusing.

Untuk mengatasi penyelesaian kewajiban tunda bayar yang menjadi prioritas dan mengikat, dengan harus dilakukannya penggeseran anggaran antar unit dan antar sub unit.

Persoalan itu kemudian menimbulkan sedikit kegaduhan, di mana pihak legislatif bereaksi dalam Rapat Paripurna penyampaian LKPK 2023 dengan mengusulkan Hak Interpelasi.

Itu sah-sah saja sebagai sebuah dinamika, dan tidak menyalahi konstitusi. Sepanjang nuansanya lebih objektif, dan mencerminkan kedewasaan berpikir dalam berorientasi dengan persoalannya.

Di sisi lain, sikap Pemda Purwakarta melakukan hal itu bukan tanpa alasan. Sebab secara logika tahun 2024 ini adalah masa transisi pemerintahan.

Ini semestinya dipahami untuk menjadi nol Kilometer kembali tata kelola pemerintahan seiring akan lahirnya kepemimpinan daerah yang baru di Pilkada 2024.

Maka, kalau satu sama lain ada kesepahaman dengan melihat upaya untuk kebaikan di masa yang akan dating, tidaklah perlu reaktif secara berlebihan. Mengingat penyehatan tata kelola pemerintahan dan penatausahaan keuangan daerah di tahun 2024, akan menjadi pondasi penting bagi pemimpin daerah selanjutnya.

Terlepas setuju tidaknya pandangan ini, jika ingin kondisi daerah ke depan lebih baik, rumusnya, di masa transisi ini harus dilakukan pembenahan secara menyeluruh.

Memang dengan dilakukan perubahan strategi dan kebijakan, serta pembenahan kinerja birokrasi akan menimbulkan risiko. Di antaranya adalah timbulnya resistensi dan ketidakpastian terhadap pegawai dan pihak-pihak yang terkait, gangguan operasional dan budaya organisasi serta menambah beban biaya implementasi.

Namun meskipun risiko ini ada, untuk mengatasinya penting bagi Pemda Purwakarta untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko ini secara proaktif.

Pendekatan yang hati-hati, komunikasi yang jelas, pelibatan pegawai, dan perencanaan yang matang dapat membantu mengurangi dampak negatif dari perubahan strategi dan kebijakan serta pembenahan kinerja birokrasi.

Lalu apakah hal itu juga berimplikasi pada APBD, khususnya pada pelaksanaan APBD 2024?

Tentu saja ada implikasinya, dan dapat menimbulkan dilema terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Beberapa dilema yang mungkin timbul, di antaranya akan terjadi penyesuaian anggaran yang telah direncankan dan ditetapkan sebelumnya. Adanya perubahan prioritas anggaran dan pembiayaan, ketidakpastian pendapatan serta tantangan inplementasi.

Dalam menghadapi dilema seperti itu, penting bagi Pemda Purwakarta untuk melakukan analisis yang cermat. Melibatkan stakeholder terkait guna memprioritaskan tujuan strategis, dan mengadopsi pendekatan yang seimbang. Tujuannya untuk mengelola APBD secara efektif sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal.

Konkretnya, dengan segala permasalahan masa lalu sebagai "successive legacy" menyangkut persoalan kinerja keuangan***

*Penulis adalah pemerhati kebijakan publik, tinggal di Purwakarta

Topik Menarik