Di Perang Jawa, Diponegoro Mengikat Kesetiaan Panglimanya dengan Perkawinan
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM- Dalam cerita terdahulu dipaparkan tentang awal hubungan antara Diponegoro dengan pengasuh pondok pesantren Mojo yang bernama Kiai Mojo. Saat itu, putra sulung Diponegoro yang bernama Diponegoro I menimba ilmu agama di Mojo daerah Surakarta.
Dalam periode itu, Surakarta sebagai pusat pendidikan pesantren-pesantren karena Sunan Paku Buwono IV memberikan anggaran lebih terhadap kemajuan pendidikan agama Islam dan syiar agama Islam.
Diponegoro kemudian menengok putra sulungnya itu dan bertemu dengan Kiai Mojo. Sebagai balasan, Kiai Mojo kemudian di lain hari berkunjung ke Tegalrejo bertemu dengan Diponegoro. Puncak hubungan pesantren Mojo dan Diponegoro ketika Kiai Mojo dan para santrinya bergabung dengan Diponegoro di Selarong melawan Kolonial Belanda.
Untuk mengikat kekerabatan, Sang Pangeran menikahkan Kiai Mojo dengan mantan istri Pangeran Mangkubumi yang masih kerabat Yogyakarta. Raden Ayu Mangkubumi setelah menikah dengan Kiai Mojo berganti nama menjadi Raden Ayu Kiai Mojo.
Ketika Kiai Mojo diasingkan Kolonial ke Ambon, walaupun banyak pembesar Belanda menginginkan Raden Ayu Kiai Mojo tetap tinggal di Yogyakarta, Residen Yogyakarta Frans Gerhadus Valck (menjabat Maret 1831-Juli 1838 dan Desember 1838-Juli 1841) mengusulkan agar Raden Ayu Kiai Mojo ikut diasingkan.
Residen Valck menganggap istri-istri pembesar Jawa termasuk Raden Ayu Kiai Mojo merupakan perempuan yang berbahaya dan kejam terhadap kolonial. Apabila dibiarkan tinggal di Jawa, suatu saat akan mengobarkan pemberontakan (kisah tersebut bisa dibaca DI SINI ).
Pembaca yang budiman, hari itu masih tetap hari Sabtu, 22 Mei 1830. Saat waktu menunjukkan jam 6 petang Diponegoro dan Letnan Knoerle masih bercakap-cakap. Diponegoro sangat setuju jika Raden Ayu Kiai Mojo ikut diasingkan bersama dengan suaminya. Menurut Diponegoro, jika kolonial membiarkan istri-istri para tawanan itu jauh dari suaminya, merupakan tindakan yang kejam.
Diponegoro juga meminta hal yang sama kepada 3 tokoh pengikut Kiai Mojo seperti Tumenggung Brojoyudo, Tumenggung Urawan, dan Tumenggung Pajang (Bagus Elias). Diponegoro ingin agar istri-istri mereka bertiga juga diikutsertakan dalam pengasingan.
Dalam percakapan dengan Letnan Knoerle itu, Diponegoro juga mengatakan bahwa selama Perang Jawa, Diponegoro mengikat para perwira tinggi pasukannya yang berani dan cakap di medan pertempuran dengan perkawinan. Cara ini ditempuh Diponegoro untuk menjamin kesetiaan mereka yang paling terjamin.
Untuk itulah, tidak mengherankan jika Diponegoro menikahkan Kiai Mojo dengan Raden Ayu Mangkubumi yang masih kerabat Yogyakarta dan menikahkan Tumenggung Brojoyudo dengan putri Pangeran Adiwinoto.
Pangeran Adiwinoto (sekitar 1783-1826) adalah paman Diponegoro yang ikut menjadi korban di pihak keraton ketika terjadi pertempuran besar di Lengkong yang juga menewaskan Pangeran Panular dan Pangeran Mertasana pada tanggal 30 Juli 1826.
Tumenggung Urawan juga dinikahkan dengan keponakannya, putri Pangeran Dipowiyono.
Diponegoro mengatakan bahwa Tumenggung Pajang adalah seorang pemuda yang awalnya lahir dari kalangan biasa (rendah). Dengan kebijakan dan keberaniannya, akhirnya Tumenggung Pajang diangkat menjadi panglima perang Diponegoro. Tidak itu saja Tumenggung Pajang juga dinikahkan dengan putri Kiai Mojo.
Strategi menikahkan dengan kerabat Diponegoro ini ternyata merupakan cara jitu untuk mengikat kesetiaan mereka hingga rela berkorban jiwa dan raganya. Diponegoro telah meng- creat mata rantai yang kuat dan tidak mudah lepas hubungan psikologis antara panglima perang itu dengan Diponegoro. Mata rantai ini terbuat dari hubungan darah yang menimbulkan kesetiaan tanpa batas.
Dalam memilih panglima perangnya di Perang Jawa, Diponegoro juga sengaja menghapus stratifikasi yang kaku di dalam keraton. Menurut Diponegoro seorang panglima perang tidak harus yang mempunyai pangkat, jabatan tinggi dan senioritas di keraton sebelum pecah Perang Jawa.
Bagi Diponegoro pangkat, jabatan tinggi dan senioritas di dalam keraton tidak berguna jika di medan laga menjadi pria yang penakut, sakit-sakitan dan tidak cakap memimpin pertempuran.
Untuk itulah Diponegoro memandang bahwa siapa pun dan dari kalangan manapun baik itu dari orang rendahan atau dari bangsawan apabila mempunyai keberanian dan kecakapan dalam memimpin pasukan, maka dia diangkat sebagai panglima ( basah ) dalam pertempuran.
Dengan demikian tidak mengherankan jika para panglima perang Diponegoro banyak yang masih berusia muda belasan tahun dan dari kalangan rendahan seperti Sentot Prawirodirjo, Tumenggung Pajang dan sebagainya. Sebaliknya Diponegoro dibuat keheranan dengan aturan karir militer ala Kolonial Belanda, karena mengangkat para jenderal perang dari orang-orang yang sudah berusia tua.
Memang jenderal-jenderal Belanda seperti Jenderal de Kock (1779-1845) berusia 46 tahun, Jenderal van Geen (1775-1846) berusia 49 tahun, dan Jenderal Jacob Holsman (1771-1833) berusia 54 tahun. Mereka bertiga sudah terhitung paruh baya ketika memimpin pasukan Belanda dalam Perang Jawa.
Bahkan, Jenderal Jacob Holsman ketika memimpin perang di Rembang sudah berusia 57 tahun dan jatuh sakit saat memimpin operasi militer pada 11 Pebruari 1828 menghadapi pasukan Raden Ario Sosrodilogo di Rembang.
Akhirnya Jenderal Jacob Holsman digantikan oleh wakilnya yaitu Letnan Kolonel Willem Andrian Roest (1796-1875) seorang perwira yang minim pengalaman tempur, karena selama ini perwira tersebut dijobkan sebagai ajudan Gubernur Jenderal van der Capellen (menjabat 1816-1826).
Bagaimana kisah-kisah berikutnya saat Sang Pangeran di Kapal Pollux? Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya!
Penulis: Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.
Bacaan Rujukan Carey, Peter. 2022. Percakapan dengan Diponegoro . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.




