Handphone dan Paradoks Hubungan Sosial Kita
Ahmad InungSiswa Pendidikan Pemantapan Pimpinan Nasional (P3N) XXV Lemhannas RI
PERNAHKAH kita makan malam bersama keluarga atau teman di mana setiap orang saling diam karena masing-masing sibuk dengan gadget-nya? Pernahkah kita meminta tolong pada orang dekat kita melalui WA sekalipun orang itu tinggal serumah dengan kita? Itulah fenomena yang sedang kita alami saat ini. Fenomena ini disebut Sherry Turkle, sosiolog dari Amerika, dengan istilah "alone together". Istilah ini kurang lebih artinya adalah bersama tapi sendiri.
Kita tengah hidup dalam dunia yang dipenuhi paradoks. Belum pernah ada sebuah era di mana manusia begitu mudahnya terhubung antara satu dengan lainnya. Namun, belum pernah juga ada sejarah di mana manusia begitu kesepian. Di jantung paradoks ini, narasi utamanya adalah mobile phone atau handphone (HP). Ketergantungan kita pada perangkat kecil di genggaman tangan ini telah menggantikan orang-orang tersayang. Hubungannya dengan kita lebih dekat dari orang-orang yang paling kita cintai sekalipun.
Saat ini, jika ada benda yang begitu dekat dengan kita, yang kalau terpisah membuat kita merasakan kehilangan, itu adalah HP. Namun, benda itu pula yang menjadi tembok pemisah. Lebih memisahkan dari tembok Berlin.
HP telah merevolusi hubungan sosial kita. Dengan sekali pencet, kita dapat menghubungi teman atau keluarga di manapun mereka berada. Dengan benda ajaib itu pula, kita bisa berbagi momen-momen indah bersama orang-orang yang kita sayangi secara real time. Namun, sebagaimana ia mampu menghubungkan kita, alat itu pula yang memisahkan kita sekalipun secara fisik kita berdekatan.Sejarah penemuan HP menandai titik belok sejarah kemanusiaan kita. Kita tidak lagi dihalangi oleh jarak geografis atau zona waktu. Dunia sepenuhnya ada dalam genggaman tangan kita. Melalui video call, kita membangun jembatan yang menghubungkan antarbenua. Pengiriman kabar secara cepat mengganti cara pengiriman surat tradisional. Platform media sosial memungkinkan kita untuk menyebarkan apa yang sedang kita lakukan kepada siapa pun di seluruh dunia.
HP telah mendemokratisasi komunikasi, membuat setiap orang punya kesempatan untuk menyuarakan aspirasinya. Tidak ada lagi orang yang bisu karena setiap mulut kini bisa suara. Ruang publik tidak lagi dimiliki secara eksklusif para tokoh. Bahkan, orang biasa pun tiba-tiba bisa menjadi tokoh atau selebritas yang kehidupan recehnya menyedot perhatian ribuan bahkan jutaan orang. Sebuah fenomena yang tidak pernah terjadi di era apa pun sebelum ini.
Namun, di balik segala jembatan yang dibangun oleh HP, tersimpan dinding-dinding pemisah yang tak kasat mata. Sebagaimana dunia menjadi semakin terhubung, kita juga semakin terpisahkan. Kita semakin terkungkung dengan dunia kita sendiri. Dengan segala janjinya akan kemudahan hubungan dan pendekatan jarak hubungan, HP juga membuat kita semakin individualistik.
Di kafe, kendaraan umum, bahkan di meja makan malam, wajah-wajah tampak terang dalam diam karena sorot cahaya dari layar HP yang sedang dibukanya. Setiap orang asyik dengan dunianya. Setiap orang sibuk mengecek notifikasi, mencari-cari berita atau informasi atau hiburan tanpa henti, atau menjawabi pesan yang belum sempat terbaca. Tak ada tegur sapa dengan orang-orang di sekelilingnya. Tak ada wajah yang saling berinteraksi dalam percakapan hangat. Pertemuan sosial kini diselingi dengan bunyi centhung halus dari pesan yang masuk ke gadget. Percakapan yang bermakna dengan orang-orang tersayang dalam sebuah perjamuan dikorbankan di depan altar distraksi digital.Media sosial yang biasanya diakses melalui HP membuat kita menciptakan versi hidup editan. Profil dipoles dan postingan difilter karena kita ingin menampilkan diri kita sesempurna mungkin. Kita tidak menampilkan diri kita seperti apa adanya kepada dunia, tapi diri yang ingin kita kesankan.
Kecanggihan teknologi komunikasi membuat kita setiap saat dilanda kecemasan karena selalu diingatkan akan adanya jarak antara siapa kita sebenarnya dengan impian yang tak pernah ada batasnya. Bahkan, satu jerawat di pipi pun mengganggu kita sedemikian rupa sehingga dibutuhkan waktu khusus untuk mengedit foto kita sebelum ditampilkan menjadi profil di akun medsos. Semakin banyak dan sering kita berbagai, semakin banyak dan sering pula kita terisolasi dari diri kita sendiri.
Teknologi HP menciptakan individualisme sejak dalam pikiran. Algoritma berhasil mempelajari kesukaan kita, menyediakan berita, musik, dan produk-produk yang kita sukai. Pengalaman personal ini membuat kita merasa nyaman, tapi kenyamanan seekor kepompong yang tidak sanggup melihat dunia luar yang berbeda. Tidak ada kesempatan mengalami sesuatu yang bersifat spontan.
Fenomena "alone together" adalah paradoks dunia kita saat ini. Kita berkumpul bersama orang-orang, tapi sebetulnya kita sedang mengundurkan diri dari perjumpaan itu untuk masuk ke dalam kamar kecil dunia kita sendiri. Makan malam keluarga yang dulu menjadi benteng keakraban agar hubungan keluarga tetap terjaga, kini bersaing dengan video viral dan pesan berantai yang nyaris tak ada putusnya.
Berbagai studi telah mengeksplorasi hubungan antara penggunaan HP yang berlebihan dengan perasaan kesepian. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) yang saat ini melanda banyak kalangan juga akibat dari penggunaan HP yang berlebihan. FOMO adalah sebuah fenomena kecemasan karena merasa ketinggalan mengikuti atau tidak tahu bahwa sesuatu yang menarik mungkin sedang terjadi di luar sana. Fenomena FOMO seringkali dipicu oleh unggahan di media sosial.
Seluruh ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) akibat penggunaan HP itu bukan sebuah kutukan yang hanya bisa diratapi. Bagaimanapun juga, teknologi adalah ciptaan manusia. Kesadaran bahwa kita subjek yang sadar dan berkuasa atas ciptaan kita adalah kesadaran reflektif yang harus kita miliki. Dengan menyadari sifat "mata pedang ganda" dari perangkat ini, kita dapat membuat pilihan sadar tentang bagaimana, kapan, dan mengapa kita menggunakannya. Sayangnya, kesadaran reflektif atas kemanusiaan kita adalah kemewahan yang tak semua orang memilikinya.










