Tarif AS 19 Rugikan Posisi Indonesia, Ini Alasannya
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai hasil kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terkait tarif resiprokal cenderung merugikan posisi Indonesia dalam jangka panjang. Dalam kesepakatan tersebut, produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dikenakan tarif impor sebesar 19 persen. Sebaliknya, produk asal AS yang masuk ke Indonesia dibebaskan dari bea masuk alias 0 persen.
"Jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS, karena hasil negosiasi tarif ini tetap merugikan posisi Indonesia," kata Bhima saat dihubungi di Jakarta, Rabu (16/7).
Baca Juga:Trump Resmi Kenakan Tarif Impor Indonesia 19, Ini Imbalan yang Diberikan ke AS
Bhima mengakui sejumlah produk ekspor utama Indonesia seperti alas kaki, pakaian jadi, minyak kelapa sawit (CPO), dan karet diuntungkan karena tarifnya turun dari 32 persen menjadi 19 persen. Namun, menurutnya, keuntungan itu tidak sebanding dengan potensi lonjakan impor dari AS ke Indonesia.
Ia menyebut, dengan pembebasan tarif untuk produk AS, maka barang-barang seperti minyak dan gas bumi (migas), elektronik, suku cadang pesawat, serealia seperti gandum, dan produk farmasi akan membanjiri pasar domestik."Sepanjang 2024, total impor lima komoditas utama dari AS ini mencapai USD 5,37 miliar atau setara Rp87,3 triliun. Jumlah itu bisa meningkat signifikan pasca kebijakan tarif 0 persen," ujarnya.
Bima juga menyoroti dampak dari kesepakatan tersebut terhadap ketahanan pangan nasional. Ia mengingatkan bahwa target swasembada pangan bisa terganggu, terutama karena penetrasi produk pangan AS seperti gandum semakin besar akibat bebas tarif.
"Memang harga mie instan dan roti mungkin akan turun, tetapi dampaknya terasa pada produsen lokal. Petani dan pelaku industri pangan dalam negeri bisa tertekan," jelasnya.
Baca Juga:Trump Ogah Bayar Utang AS Rp594.000 Triliun, Negara-negara Ini Paling Dirugikan
Menurut Bhima, kebijakan ini justru dapat memicu ketergantungan baru pada bahan baku pangan dan energi dari luar negeri terutama dari Amerika Serikat, yang bertentangan dengan semangat kemandirian ekonomi. Sebagai solusi, Bima mendorong pemerintah untuk segera mempercepat diversifikasi pasar ekspor, khususnya ke Eropa dan kawasan ASEAN.
Ia menilai momentum perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dapat dimanfaatkan secara strategis. "Pemerintah sebaiknya segera membuka akses pasar ke Eropa pasca IEU-CEPA disahkan. Pasar intra-ASEAN juga penting untuk dikembangkan agar kita tidak terlalu bergantung pada pasar AS," pungkasnya.










