Anatomi Kepalsuan Akademik

Anatomi Kepalsuan Akademik

Nasional | sindonews | Minggu, 6 Juli 2025 - 10:09
share

Eko ErnadaDosen Hubungan Internasional, Universitas Jember

SEBUAH peta global bertajuk Research Integrity Risk Index (RI²) yang baru-baru ini dirilis membawa angin getir bagi wajah pendidikan tinggi Indonesia. Dalam peta tersebut, sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air tergolong dalam zona merah—kategori risiko tinggi dalam pelanggaran integritas riset.

Artinya, institusi-institusi ini tak hanya rentan terhadap praktik manipulatif dalam dunia akademik, tetapi juga telah menunjukkan indikasi sistemik akan lemahnya tata kelola etika ilmiah. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah gambaran yang telanjang tentang krisis di jantung pendidikan tinggi kita: krisis kejujuran, tanggung jawab, dan arah moral institusi ilmiah.

Universitas secara historis dibayangkan sebagai menara gading—bukan dalam arti eksklusivitas sosial, melainkan sebagai tempat di mana ilmu, nalar, dan kebebasan intelektual mendapat ruang hidup. Dari Universitas al-Qarawiyyin di Maroko yang berdiri sejak abad ke-9, hingga Universitas Bologna dan Paris di Eropa, tradisi universitas dibangun di atas penghormatan pada kejujuran ilmiah dan keberanian berpikir.

Di abad ke-19, Wilhelm von Humboldt merumuskan ulang fungsi universitas modern: sebagai tempat yang memadukan penelitian dan pengajaran, berlandaskan pada otonomi akademik dan kebebasan berpikir. Prinsip ini yang kemudian mengilhami model universitas riset di banyak negara.

Universitas sebagai Korporasi Simbolik

Di Indonesia kontemporer, ideal universitas sebagai ruang kebebasan ilmiah itu semakin tergerus. Tekanan administratif, tuntutan birokrasi, dan kompetisi peringkat dunia telah menciptakan universitas sebagai korporasi simbolik. Di dalamnya, dosen dan mahasiswa didorong untuk menghasilkan publikasi sebanyak-banyaknya, terakreditasi, terindeks, terpublikasi—apa pun caranya.

Dalam struktur seperti ini, etika riset bukanlah fondasi, melainkan gangguan. Kita menyaksikan gejala sistemik: pembelian artikel, publikasi di jurnal predator, fabrikasi data, plagiat terselubung, hingga perebutan authorship yang tak etis. Pendidikan tinggi berubah menjadi pabrik kepalsuan yang sah secara administratif, namun rapuh secara moral.

Fenomena ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia adalah produk dari insentif yang salah arah dan sistem yang gagal memahami hakikat ilmu. Logika audit dan pengukuran kinerja ala manajerial telah merasuk ke dalam dunia akademik, menggeser tujuan universitas dari pursuit of knowledge menjadi compliance for funding.

Dalam situasi seperti ini, riset bukan lagi proses yang mendalam dan reflektif, tetapi menjadi proyek cepat saji yang harus selesai sesuai jadwal hibah. Publikasi bukan lagi ruang dialog keilmuan, melainkan alat mengejar kenaikan jabatan dan tunjangan.

Dalam bahasa Ivan Illich, pendidikan tinggi telah menjadi ritual of certification, di mana yang dicari adalah stempel administratif, bukan pencapaian intelektual sejati. Sedangkan sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyebut arena akademik sebagai ruang di mana berbagai modal—ekonomi, sosial, dan simbolik—diperebutkan secara intens. Pendidikan tinggi, dalam perspektifnya, bisa menjadi alat legitimasi kekuasaan dan reproduksi dominasi, bukan ruang emansipasi. Di Indonesia, banyak perguruan tinggi telah berubah menjadi lembaga akumulasi simbolik. Gelar profesor menjadi lambang status, bukan kedalaman ilmu. Artikel jurnal menjadi komoditas, bukan hasil dialog epistemik.

Krisis Etika, Krisis Masa Depan

Ironisnya, peningkatan jumlah publikasi tidak serta-merta diikuti oleh peningkatan kualitas keilmuan atau dampak sosial. Banyak riset berakhir di tumpukan laporan tanpa dibaca atau dimanfaatkan. Jurnal-jurnal dipenuhi artikel yang ditulis tergesa-gesa demi akreditasi, bukan untuk menjawab problem sosial.

Bahkan, ketika kampus ramai memproduksi artikel internasional, ruang-ruang kelas tetap miskin diskusi kritis. Mahasiswa kehilangan orientasi, dosen kehilangan hasrat intelektual, dan publik kehilangan kepercayaan terhadap pendidikan tinggi.

Di titik ini, kita menghadapi situasi yang tidak lagi bisa dianggap sekadar sebagai "masalah akademik", tetapi sebagai krisis moral dan arah kebudayaan. Jika universitas adalah laboratorium masa depan bangsa, maka kebohongan yang dibiarkan hidup di dalamnya akan meracuni seluruh sendi kehidupan.

Bagaimana mungkin kita berharap lahirnya kebijakan publik yang adil, inovasi teknologi yang etis, atau nalar publik yang sehat, jika akarnya—yakni dunia akademik—telah dipenuhi distorsi dan ilusi?Sementara itu, negara-negara lain menjadikan integritas sebagai inti reformasi pendidikan tinggi. Di Finlandia dan Norwegia, mahasiswa doktoral diwajibkan mengikuti modul intensif tentang etika riset. Di Jerman, kegagalan menjaga integritas akademik bisa berujung pada pencabutan gelar dan pemecatan jabatan, bahkan untuk profesor senior.

Di Indonesia, pelanggaran sering kali ditanggapi dengan cara minimalis. Budaya diam, ketakutan, dan kepatuhan membabi buta terhadap angka membuat kebohongan menjadi norma baru. Untuk keluar dari krisis ini, kita butuh perubahan dari dalam dan dari atas. Indikator evaluasi kampus harus direformasi: dari kuantitas menuju kualitas. Komite etik riset harus independen dan diberi otoritas yang jelas.

Pendidikan integritas ilmiah perlu ditanamkan sejak awal perkuliahan, bukan hanya dalam seminar kewajiban menjelang skripsi. Lebih jauh lagi, kita perlu menghidupkan kembali budaya intelektual: keberanian untuk berbeda pendapat, kesabaran dalam berpikir, dan penghargaan terhadap proses, bukan sekadar hasil.

Anatomi kepalsuan akademik yang terpotret dalam data RI² bukan sekadar cermin dari kegagalan institusional. Ia adalah tanda bahwa kita sedang mengabaikan sesuatu yang sangat mendasar: bahwa ilmu tidak bisa tumbuh dalam kebohongan. Dan ketika ilmu kehilangan integritasnya, maka yang tumbuh bukan kemajuan, melainkan kekosongan yang dibungkus rapi oleh angka dan sertifikat.

Bangsa yang ingin maju tidak cukup hanya dengan meningkatkan jumlah profesor atau publikasi. Ia harus membangun kultur akademik yang jujur, tahan uji, dan berani menolak kepalsuan. Sebab, sebagaimana kata Albert Einstein, “Ilmu tanpa nurani adalah kehancuran jiwa.”

Topik Menarik