Bima Arya Sebut Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 Bukan Cuma 4 Pulau: Ada 4.000 Lebih Lampiran
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto buka suara mengenai polemik sengketa kepemilikan empat pulau yang melibatkan Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara (Sumut). Dia menjelaskan, Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025 tidak secara spesifik terkait empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Adapun keempat pulau tersebut adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil. “Perlu kami luruskan mengenai opini yang selama ini beredar di pemberitaan dan di publik bahwa ada hal-hal yang sifatnya terlalu spekulatif terkait dengan keputusan Menteri Dalam Negeri yang terkait pada status 4 pulau tadi,” kata Bima Arya dalam konferensi pers di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (16/6/2025).
“Yang terjadi adalah sebetulnya pemutahiran data terkait dengan kode wilayah atas seluruh wilayah Indonesia. Jadi Bapak Menteri tidak spesifik hanya menandatangani wilayah Sumatera Utara dan Aceh saja atau 4 pulau saja, tapi seluruh Indonesia,” tambahnya.
Baca juga: Isu 4 Pulau Aceh Masuk Sumut Hadiah untuk Jokowi, Hasan Nasbi: Spekulasi yang Tidak Perlu Dijawab
Dia menjelaskan, dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tersebut ada 4.000 lebih lampiran keputusan yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. “Jadi sekali lagi, keputusan menteri ini bukan hanya terkait kepada empat pulau atau dua provinsi saja, tapi ini adalah pemutakhiran data seluruh Indonesia yang lampirannya tadi ada 4.000 halaman lebih,” tuturnya.Diketahui, keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyerahkan 4 pulau di Aceh untuk Sumatera Utara (Sumut) dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 menjadi polemik.
Baca juga: PKS Dorong DPR Segera Bersidang Bahas Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut
Anggota DPR Rieke Diah Pitaloka menilai keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyerahkan 4 pulau di Aceh untuk Sumatera Utara (Sumut) batal demi hukum. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengingatkan bahwa Indonesia negara hukum, bukan hukum rimba."Indonesia Negara Hukum, yang berlaku adalah hukum positif, bukan hukum rimba," ujar Rieke dalam video di akun Instagram @riekediahp, dikutip Senin (16/6/2025).
Rieke menegaskan, justru Aceh juga sangat berjasa dengan kemerdekaan Indonesia. "Ingat Sejarah, Radio Rimba Raya Aceh Selamatkan Indonesia dari Agresi Belanda!" kata Rieke.
Rieke mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang langsung mengambil alih penyelesaian polemik Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh atas 4 pulau, meliputi Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang tersebut. "Mengingatkan bahwa para menteri adalah pembantu Presiden. Presiden Indonesia saat ini adalah Presiden Prabowo Subianto," tegas Rieke.
Rieke menekankan, Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diatur jenis dan hierarki peraturan perundangan. Penjenjangan dalam hierarki yang dimaksud menunjukkan peraturan perundangan yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan di atasnya.
"Sementara, keputusan Mendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 terindikasi kuat bertentangan dengan peraturan perundangan dan mencederai akta perdamaian Helsinki," katanya.Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas mengingatkan bahwa masalah sengketa kepemilikan empat pulau yang melibatkan Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara (Sumut) bisa menimbulkan disintegrasi bangsa jika gagal ditangani dengan baik. Dia berharap kepada Presiden Prabowo Subianto agar masalah keempat pulau yang telah memantik terjadinya dinamika politik tersebut dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
"Sebab kalau kita gagal menangani masalah ini maka tidak mustahil akan menimbulkan disintegrasi bangsa dan kita tentu saja tidak mau hal itu terjadi," ujarnya dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).
Dia mengatakan bahwa bangsa ini betul-betul lelah menghadapi konflik bersenjata yang berlangsung puluhan tahun di Aceh antara pihak pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Banyak korban telah berjatuhan di kedua belah pihak.
"Tapi untunglah akhirnya kita bisa berdamai melalui Kesepakatan Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005," tuturnya.