Kisah 3 Lulusan Kedokteran UGM dengan IPK 4.00: Tangis Mengerjakan Skripsi Sudah Biasa
Menempuh pendidikan di jurusan Kedokteran bukanlah perkara mudah. Namun, tiga mahasiswa UGM ini berhasil membuktikan bahwa kerja keras dan konsistensi bisa mengantarkan pada hasil gemilang.
Ketiga mahasiswaFakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) inimenjadi wisudawan dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi di Wisuda Program Sarjana Tahun Akademik 2024/2025, dengan IPK sempurna 4.00.
Baca juga: Lulus Cumlaude dari UGM di Usia 19 Tahun, Mutiara Jadi Wisudawan TermudaMereka adalah Zabrina Kyla Setyawan, Claire Emmanuel, dan Inzam Ilmi Kazamzam. Capaian ini terasa lebih istimewa mengingat rata-rata IPK dari 1.291 lulusan periode ini adalah 3,60.
Perjalanan Zabrina: Dari Tantangan Skripsi hingga Ketertarikan pada Obat Herbal
Zabrina Kyla Setyawan aktif berorganisasi sejak awal kuliah. Ia tergabung dalam Center for Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA), organisasi mahasiswa kedokteran nasional yang beroperasi di 27 universitas termasuk UGM.Baca juga: Cerita Brian Arianto Lulus Cumlaude Kedokteran UGM: Jadi Dokter adalah Panggilan Jiwa
Meski aktif secara akademik dan non-akademik, Zabrina menghadapi tantangan besar saat mengerjakan skripsi. Ia sempat mengalami kegagalan karena masalah pendanaan dan harus mengganti judul skripsinya."Judul skripsi yang akhirnya saya selesaikan pun tak berjalan lurus. Tangis yang mewarnai pengerjaan skripsi sudah hal yang biasa,” kenangnya.
Zabrina juga dikenal sebagai asisten dosen anatomi dan kerap mengikuti lomba-lomba kedokteran. Ketertarikannya terhadap topik pengobatan herbal muncul setelah mengikuti beberapa short course, antara lain tentang herbal medicine, kedokteran olahraga, doctorpreneurship, penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, serta topik seribu hari pertama kehidupan.
Baca juga: Momen Manis Wulan Guritno dan Mantan Suami Rayakan Kelulusan Putri TercintaIa pun memilih skripsi bertema pengembangan obat herbal untuk mengatasi hipertensi, salah satu penyakit degeneratif dengan prevalensi tinggi.
“Topik skripsi saya adalah pengembangan obat herbal untuk membantu mengatasi hipertensi. Salah satu penyakit degeneratif dengan prevalensi cukup tinggi dan komplikasi yang berat,” tutur Zabrina.
Penelitiannya fokus pada kandungan Allium sativum, Curcuma aeruginosa, dan Amomum compactum dalam poliherbal antihipertensi yang diuji pada tikus model hipertensi.“Penelitian ini mendukung kandungan tersebut untuk dikembangkan menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT),” katanya.
Inzam Ilmi Kazamzam: Produktif Meski Jadwal Padat
Inzam Ilmi Kazamzam awalnya tidak menyangka akan meraih IPK sempurna. Di tengah padatnya jadwal kuliah Program Studi Pendidikan Dokter, ia tetap aktif mengikuti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), organisasi CIMSA, serta Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FK-KMK UGM.“Jam kuliah prodi dokter yang cukup padat. Tidak hanya kegiatan di kampus saja, tetapi masih perlu banyak persiapan seperti untuk kegiatan praktikum dan skills lab yang juga memakan waktu,” kata Ilmi.
Untuk mengatasi itu, Ilmi menerapkan manajemen waktu yang ketat dengan mencatat agenda harian secara rinci. Ia juga mengadopsi metode learning objectives untuk membantu belajar secara sistematis.
“Selama 3,5 tahun ini, saya banyak merasakan momen naik dan turun. Singkatnya, sudah seperti roller coaster,” pungkasnya.
Claire Emmanuel: Inspirasi dari Rumah Sakit Apung
Claire Emmanuel, mahasiswa asal Jakarta, menyampaikan rasa syukurnya atas pencapaian IPK sempurna yang ia raih, berkat dukungan keluarga, teman, dosen, dan tenaga kependidikan selama masa studinya.“Saya sangat bersyukur sekali bisa lulus dengan IPK sempurna,” katanya, Jumat (6/6).Sejak remaja, Claire sudah bercita-cita menjadi dokter. Ia terinspirasi oleh Rumah Sakit Apung yang didirikan dr. Lie Dharmawan dari Yayasan Dokter Peduli (DoctorSHARE), yang memberikan layanan kesehatan ke wilayah terpencil melalui kapal.
“Saya lalu memilih prodi kedokteran UGM karena dikenal sebagai prodi yang tidak hanya mengajarkan gold standard, tetapi juga bagaimana seorang dokter dapat beradaptasi dengan fasilitas kesehatan (faskes) yang tersedia, baik itu di kota besar ataupun kecil,” ungkap Claire.
Menurutnya, para dosen dan profesor di FK-KMK UGM tidak hanya membekali mahasiswa dengan ilmu kedokteran, tetapi juga menanamkan nilai-nilai empati dan ketulusan dalam melayani pasien.










