Menakar Arus Balik Demokratisasi Desa

Menakar Arus Balik Demokratisasi Desa

Nasional | sindonews | Selasa, 27 Mei 2025 - 12:56
share

Mokhamad RezaAnggota Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI)

INSTRUKSI Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) dinilai menggerus otonomi desa. Kebijakan ini menambah berbagai mandat yang selama ini diatur oleh pemerintah pusat, seperti dukungan pada penanganan kemiskinan ekstrem, stunting, perubahan iklim, dan ketahanan pangan serta program prioritas lainnya.

Di sisi lain, terdapat realitas bahwa otonomi yang diberikan kepada desa selama lebih dari satu dekade belum memenuhi harapan. Desa yang mandiri, sejahtera dan demokratis belum sepenuhnya terwujud. Kucuran Rp610 triliun Dana Desa, sebagai bentuk rekognisi negara, agar desa dapat berdaya menciptakan kesejahteraan masyarakat masih jauh panggang dari api.

Serial investigasi Harian Kompas pada Februari 2025 membingkai kompleksitas permasalahan ini. Investigasi ini menghadirkan potret buram modus penyimpangan dana desa, minimnya partisipasi masyarakat, hingga ketergantungan fiskal desa terhadap pemerintah pusat.

Peningkatan aliran dana desa setiap tahun justru pararel dengan merosotnya Pendapatan Asli Desa (PADesa) dari tahun ke tahun. Rata-rata PADesa di Indonesia hanya Rp 43,46 juta pada 2024, dengan rata-rata bagi hasil BUMDes yang hanya sebesar Rp1,73 juta. Bahkan, investigasi ini menemukan hampir 60 persen desa mencatatkan PADesa nol rupiah. Tampaknya dana desa belum diposisikan sebagai stimulan, namun sekadar pemberian cuma-cuma.

Tentu tidak sedikit desa mandiri, sejahtera dan demokratis yang telah terwujud. Namun, kritik Inpres Percepatan Pembentukan Kopdes Merah Putih yang dianggap mereduksi otonomi desa bukan hanya parsial, namun menjadi suatu glorifikasi prematur terhadap demokratisasi desa. Seolah-olah upaya demokratisasi desa selalu berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat desa.

Sekadar Prosedural

Di hadapan anggota parlemen Britania Raya, Winston Churchill pernah mengungkapkan satir tentang demokrasi. Sebagai perdana menteri, ia menyatakan tidak seorang pun yang perlu berpura-pura bahwa demokrasi itu sempurna. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk, kecuali bentuk-bentuk lain yang pernah dicoba dari masa ke masa. Satir ini mengungkap sebuah realitas bahwa meskipun demokrasi menawarkan bentuk pemerintahan yang lebih baik, namun ia tidak kebal dari kelemahan yang menyertainya.

Tuntutan reformasi melahirkan demokratisasi sebagai arus utama tata kelola pemerintahan di Indonesia. Derasnya euforia ini menghadirkan otonomi yang tidak hanya terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, namun hingga ke desa. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi landasan otonomi yang menempatkan desa sebagai subjek pembangunan. Namun, ide besar tentang demokrasi yang membawa otonomi hingga ke desa ibarat nasi yang belum matang, tapi dimakan seolah sedang kelaparan.

Nilai esensial demokrasi yang berakar pada akuntabilitas, transparansi dan partisipasi nampak belum melekat pada lanskap struktur sosial di desa. Samuel P. Huntington, dalam bukunya Political Order in Changing Societies (1968), jauh-jauh hari telah memperingatkan bahaya yang terjadi apabila aspek prosedural dari demokrasi hadir lebih cepat daripada matangnya institusi, budaya politik dan kesadaran kritis masyarakat. Akibatnya, yang menonjol sekadar aspek prosedural dari demokrasi itu sendiri.

Kepala desa langsung dipilih rakyat, namun atas dasar ketokohan yang paternalistik, bukan karena kapasitas teknokratik. Bahkan praktik politik uang, sebagaimana juga terjadi pada pemilu dan pilkada, telah diadposi secara sempurna dalam kontestasi pemilihan kepala desa. Pada banyak kasus, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai kanal aspirasi masyarakat dan pengawasan kinerja pemerintah desa justru terkooptasi dalam kultur feodal.

Sebab, sebagaimana pandangan Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java, partisipasi politik dalam struktur sosial di desa cenderung lebih pada bentuk loyalitas sosial-kultural dan relasi patron-klien, bukan tindakan otonom yang rasional sebagai warga negara dalam sistem demokratis. Dengan begitu, esensi demokrasi belum mendapat tempat yang seharusnya.

Jalan Pemberdayaan

Amartya Sen, peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998, menggagas pemikiran yang sangat berpengaruh tentang pergeseran pendekatan pembangunan dari yang hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi, namun lengah pada peningkatan kapabilitas masyarakat. Menurutnya, esensi demokrasi dalam pembangunan dapat bekerja secara optimal melalui partisipasi bermakna masyarakat. Hal ini hanya mungkin terjadi apabila masyarakat, khususnya kelompok rentan dan marginal, diberikan kapabilitas untuk memiliki kesadaran kritis dalam memahami dan memperjuangkan hak dan kepentingannya.

Dalam bukunya berjudul Development as Freedom (1999), Sen menegaskan bahwa persoalannya adalah bukan sekadar pada partisipasi prosedural. Partisipasi yang seringkali diterjemahkan dengan ditandatanganinya lembar kehadiran musyawarah desa oleh unsur masyarakat sebagai prosedur administratif, namun pada proses meluasnya kapabilitas masyarakat agar dapat berpartisipasi secara bermakna.

Bagaimana mungkin demokrasi desa dapat terwujud apabila warga desa tidak memiliki kapabilitas dalam merumuskan apa yang menjadi kebutuhannya. Bahkan, dalam struktur sosial di desa, seringkali persoalannya lebih dalam dari itu. Warga desa merasa inferior, takut, dan tidak pantas untuk mengemukakan apapun, selain patuh dan setuju, dalam musyawarah desa. Maka, seluas apapun ruang partisipasi yang diberikan dan sebanyak apapun warga dihadirkan, mereka hanya mampu mendominasi dalam kesunyian dan tetap mengambil jarak dari proses pembangunan desa.

Realitas ini tergambar pada hasil survei Litbang Kompas (4-10 Januari 2025) terhadap 1.000 responden di 38 provinsi menunjukkan, 6 dari 10 warga desa tidak tahu tentang dana desa dan apa pengaruhnya bagi pembangunan desa. Bahkan, 75 persen responden tidak pernah mendengar tentang kasus korupsi dana desa di daerah mereka. Padahal mereka tinggal tidak jauh dari kantor kepala desa. Rendahnya kapabilitas warga desa untuk berpartisipasi secara bermakna dalam menuntut akuntabilitas sosial memengaruhi efektivitas pemanfaatan dana desa yang seharusnya mampu memperbaiki kehidupan mereka.

Teori Strukturasi Giddens mengenai hubungan dialektis antara struktur dan agensi sangat relevan dalam menganalisis pentingnya pemberdayaan. Dalam lensa strukturasi, struktur berupa kultur feodal dan patron-klien di desa tidaklah kekal, ia senantiasa dapat bergeser seiring dengan praktik-praktik sosial agensi berupa partisipasi bermakna dari warganya yang memiliki kapabilitas dan kesadaran kritis. Hal ini dapat terwujud melalui jalan pemberdayaan yang memposisikan warga desa sebagai subjek pembangunan yang sentral-substansial.

Ayunan pendulum yang tampak mengarah pada arus balik demokratisasi desa bukanlah pertanda kegagalan, namun sebagai refleksi bersama bahwa esensi demokrasi dalam pembangunan desa tidak dapat bekerja tanpa fondasi pemberdayaan yang kuat. Terobsesi menggapai ide besar seperti demokratisasi tidak boleh berhenti pada aspek prosedural, namun perlu lebih dalam membangun substansi. Dengan itu, segala kebijakan yang turun dari pemerintah pusat kepada desa dapat terserap dalam pembangunan yang demokratis.

Topik Menarik