Kerja Sama Antardaerah

Kerja Sama Antardaerah

Nasional | sindonews | Senin, 19 Mei 2025 - 10:11
share

Candra Fajri Ananda

Staf Khusus Menteri Keuangan RI

INDONESIAsebagai negara dengan struktur kepulauan dan keberagaman yang tinggi menyimpan potensi besar sekaligus tantangan dalam pembangunan antar wilayah. Setiap daerah memiliki keunggulan komparatif, baik dari segi sumber daya alam, posisi geografis, maupun basis ekonomi lokal. Sayangnya, di balik potensi tersebut, terdapat tantangan nyata berupa ketimpangan pembangunan antar daerah.

Hingga September 2024, tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan tercatat sebesar 11,34, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di wilayah perkotaan yang hanya 6,66. Data ini menunjukkan bahwa proses pembangunan nasional masih belum sepenuhnya menyentuh masyarakat pedesaan secara merata, dan bahwa strategi intervensi yang bersifat generalis belum cukup efektif dalam menjawab kompleksitas kebutuhan lokal.

Kondisi tersebut diperkuat dengan data Statistik Potensi Desa (Podes) Tahun 2024 yang menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan dalam infrastruktur, akses pendidikan, dan layanan kesehatan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, masih mengalami hambatan serius dalam akses pelayanan dasar, terutama di daerah terpencil.

Alhasil, kondisi tersebut berdampak pada terhambatnya pemerataan pembangunan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia secara nasional.

Potensi dan permasalahan antar daerah sering kali sangat kontras. Sebagai contoh, daerah-daerah di Pulau Jawa umumnya memiliki akses pasar yang baik dan infrastruktur yang memadai, yang mempercepat pertumbuhan ekonomi dan investasi. Sebaliknya, daerah-daerah di Papua atau Nusa Tenggara masih berjuang dengan keterisolasian geografis dan minimnya fasilitas dasar, meskipun memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar.

Tantangan dalam konektivitas dan distribusi logistik di wilayah terpencil membuat potensi tersebut belum optimal dimanfaatkan. Hal ini menunjukkan perlunya strategi pembangunan yang berbasis pada kebutuhan dan karakteristik spesifik tiap wilayah.

Perbedaan antar daerah tidak hanya terlihat dari sisi potensi ekonomi, tetapi juga dari segi budaya dan produktivitas masyarakatnya. Setiap daerah memiliki karakter budaya yang membentuk cara hidup, pola konsumsi, serta pendekatan terhadap kerja dan usaha. Misalnya, masyarakat di Jepara, Jawa Tengah dikenal memiliki tradisi panjang dalam industri mebel dan ukiran, yang didukung oleh nilai-nilai budaya kerja keras dan keterampilan turun-temurun.

Sebaliknya, di beberapa daerah lain, produktivitas masyarakat terkadang dipengaruhi oleh faktor budaya lokal yang lebih mengedepankan kehidupan subsisten, sehingga berdampak pada lambatnya transformasi ekonomi.

Keragaman budaya tersebut dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan pendekatan pembangunan yang inklusif dan adaptif. Kota Jepara di Jawa Tengah, misalnya, menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya lokal yang konservatif dapat berpadu dengan etos bisnis modern melalui industri mebel kayu, yang telah berhasil menembus pasar global.

Sementara itu, praktik sosial tradisional seperti “gantangan” di Subang, Jawa Barat, menggambarkan peran budaya lokal dalam memperkuat solidaritas sosial serta ketahanan ekonomi berbasis komunitas.

Pengembangan ekonomi daerah mutlak tidak bisa disamakan secara nasional, melainkan perlu memperhatikan karakter lokal, baik dari sisi budaya kerja, pola sosial, maupun struktur ekonomi. Pemerintah perlu mendorong model pembangunan berbasis potensi lokal dan budaya daerah, agar setiap wilayah dapat tumbuh sesuai kekhasannya. Sehingga, ketimpangan antar daerah pun tidak hanya bisa dikurangi, tetapi juga menciptakan pertumbuhan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.

Problematika Lintas Daerah

Indonesia saat ini menghadapi berbagai permasalahan lintas wilayah yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya dan lingkungan, khususnya dalam hal ketersediaan air bersih, penanganan sampah, dan penataan ruang.

Menurut data Statistik Potensi Desa (Podes) 2024, meskipun sebagian besar desa memiliki sumber air minum, kualitas dan kesinambungannya belum terjamin, terutama di daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau jaringan distribusi air yang memadai. Hal ini berdampak langsung terhadap kualitas hidup masyarakat serta efektivitas pembangunan daerah.

Di samping itu, pengelolaan sampah juga menjadi isu serius yang melintasi berbagai wilayah di Indonesia. Banyak desa dan kelurahan belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang efektif, yang berdampak pada peningkatan pencemaran lingkungan dan risiko kesehatan masyarakat.

Data Podes (2024) mencatat bahwa sebagian besar wilayah administrasi setingkat desa menghadapi tantangan dalam pengelolaan limbah domestik, dengan minimnya fasilitas pengolahan sampah dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan sampah yang berkelanjutan.

Selain itu, persoalan tata ruang yang tidak terintegrasi secara baik turut memperburuk perencanaan pembangunan wilayah. Banyak daerah mengalami alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti konversi lahan pertanian menjadi permukiman atau kawasan industri tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial.

Akibatnya, terjadi degradasi lingkungan, konflik antar kepentingan, dan hilangnya produktivitas lahan. Lemahnya koordinasi lintas sektor serta belum optimalnya penegakan regulasi tata ruang menjadi faktor utama yang memperburuk kondisi ini.

Sebagai contoh, di Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan yang menyebabkan hilangnya sekitar 6,3 hektare sawah setiap tahunnya. Meskipun telah ada Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 6 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2022–2042, implementasinya belum efektif dalam mencegah konversi lahan pertanian.

Faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk, kebutuhan perumahan, dan lemahnya penegakan hukum turut mendorong terjadinya alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Kini, demi mengatasi kompleksitas permasalahan yang dihadapi, dibutuhkan pendekatan kebijakan yang terintegrasi secara kolaboratif lintas sektor, dengan melibatkan peran aktif pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Peningkatan investasi dalam pembangunan infrastruktur air bersih yang berkelanjutan, pengelolaan sampah berbasis komunitas, serta penguatan implementasi dan penegakan regulasi tata ruang perlu menjadi komponen utama dalam perencanaan pembangunan nasional.

Di samping itu, sosialisasi dan edukasi publik mengenai pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan harus terus diintensifkan guna menumbuhkan kesadaran kolektif dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.

Kerja Sama dan Standarisasi Layanan Publik

Pada konteks pembangunan yang semakin kompleks dan lintas batas administratif, penting untuk mendorong kerja sama antar daerah melalui pendekatan spasial. Kerja sama ini menjadi strategi krusial dalam menghadapi persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara sektoral atau terbatas pada satu wilayah administratif saja, seperti pengelolaan air lintas wilayah, transportasi antar kota, hingga pengelolaan kawasan pertumbuhan ekonomi terpadu.

Pendekatan spasial memungkinkan perencanaan pembangunan yang lebih terpadu dan saling melengkapi, sehingga dapat mendorong pemerataan pembangunan, pengurangan kesenjangan antar wilayah, dan peningkatan efisiensi dalam penggunaan sumber daya. Meski demikian, keberhasilan kerja sama antar daerah tidak hanya bergantung pada kesepakatan politis atau kebijakan teknokratis semata, melainkan juga pada keberadaan sistem manajemen pengelolaan yang efektif.

Diperlukan peran manajer atau penanggung jawab yang jelas, inisiator program kerja sama, serta mekanisme pembagian tanggung jawab dan pembiayaan antar pihak yang terlibat. Dalam hal ini, pemerintah provinsi memiliki posisi strategis untuk bertindak sebagai fasilitator dan penjaga mutu (quality assurance) terhadap implementasi kerja sama lintas kabupaten/kota. Provinsi juga perlu memastikan bahwa kerja sama tersebut dijalankan secara konsisten, akuntabel, dan mengedepankan kepentingan bersama antar wilayah.

Aspek yang tak kalah penting adalah perlunya standarisasi dalam pelayanan publik yang setara antar wilayah kerja sama. Hal ini diperlukan agar masyarakat di wilayah yang terhubung dalam skema kolaboratif tidak mengalami kesenjangan dalam kualitas layanan. Misalnya, jika dua kabupaten berbagi sistem transportasi publik atau pengelolaan sampah regional, maka standar pelayanan minimal yang sama harus diterapkan di seluruh wilayah cakupan.

Standar ini mencakup aspek ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, dan kepuasan masyarakat sebagai pengguna layanan. Tanpa standarisasi yang baik, kerja sama antar daerah justru berpotensi menimbulkan ketimpangan baru.

Kerja sama antar daerah perlu dirancang tidak hanya sebagai strategi berbasis kebutuhan praktis, tetapi juga sebagai bagian dari arsitektur tata kelola pembangunan nasional yang berorientasi pada integrasi wilayah dan kesetaraan layanan. Dukungan kebijakan yang adaptif, pendanaan yang berkeadilan, serta pengawasan dan evaluasi yang sistematis menjadi prasyarat keberhasilan model ini.

Jika dikelola dengan baik, pendekatan kerja sama spasial ini dapat menjadi solusi konkret dalam mengatasi persoalan lintas batas daerah sekaligus memperkuat kohesi pembangunan antar wilayah di Indonesia. Semoga.

Topik Menarik