Menakar Kans Jokowi Kembali ke Politik melalui PSI
Nama Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) digadang-gadang maju menjadi calon ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Pemilu Raya parpol berlambang mawar itu. Mantan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu masih mengalkulasi hal tersebut.
“Masih dalam kalkulasi. Jangan sampai kalau nanti misalnya saya ikut, saya kalah,” kata Jokowi di Solo, Rabu (14/5/2025).
Maka itu, dia belum mendaftar karena masa pendaftaran Calon Ketum PSI masih panjang, yakni sampai Juni 2025. Terkait kemungkinan akan bersaing dengan putranya sendiri, Kaesang Pangarep yang kini menjadi Ketua Umum PSI, Jokowi belum bisa memastikan.
“Kalau saya mendaftar, mungkin yang lain malah enggak mendaftar,” tuturnya.
Mengenai peluang, dirinya belum tahu. Sepengetahuannya, pemilihan Ketua Umum PSI akan menggunakan e-voting one man one vote. Seluruh anggota diberi hak untuk memilih, sehingga itu menjadi sesuatu yang sulit untuk diprediksi.
Dikatakannya, penggunaan e-voting merupakan sesuatu yang bagus. Sebab pada era digital seperti sekarang, keterlibatan semua anggota sangat penting, termasuk dalam pemilihan ketua partai.
Artinya kepemilikan terhadap partai betul-betul di tangan anggota. “Saya kira bagus, dan kalau perlu kantor DPC, DPD, dan kantor di tingkat kecamatan semua pakai virtual office. Tapi regulasinya perlu dirubah,” ungkapnya.
Jokowi memperkirakan, partai ke depan akan seperti itu sekaligus selaras dengan Partai Super Tbk yang pernah ia disampaikan gagasannya.
Kans Jokowi Kembali ke Politik melalui PSI Kecil
Analis Komunikasi Politik Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo menilai kans Jokowi kembali ke politik melalui PSI kecil. Sebab, menurut Kunto, PSI levelnya Kaesang.“Kalau menurut saya, kans Jokowi kembali ke politik melalui PSI sih kecil. Karena, PSI itu levelnya Kaesang. Enggak levellah buat Pak Jokowi untuk masuk PSI,” kata Kunto Adi kepada SindoNews, Jumat (16/5/2025).
Selain itu, kata dia, PSI juga tidak memiliki kursi di DPR. “Jadi kan, buat apa kemudian ke partai yang enggak ada kursi di DPR? Secara politik juga enggak punya kekuatan riil di DPR,” tuturnya.
Adapun menteri-menteri di Kabinet Prabowo-Gibran yang memiki kedekatan dengan Jokowi, Kunto menilai sifatnya tidak aman karena sewaktu-waktu bisa kena reshuffle. “Kalaupun ada menteri dan segala macam sifatnya enggak aman juga kapan pun bisa di-reshuffle dan enggak bisa ngapa-ngapain kan,” tuturnya.
“Menurut saya, lebih menguntungkan reputasi Pak Jokowi kalau dia berada di belakang layar politik seperti sekarang dengan tetap punya power yang riil di politik walaupun tidak ada di depan layar,” sambungnya.
Menurut dia, bukan hal penting Jokowi menjadi pemimpin sebuah partai politik (parpol). Dia berpendapat, lebih baik Gibran Rakabuming Raka yang masuk parpol.
“Dan kalau perlu Gibran dan Kaesang jadi ketum-ketum parpol, kan justru itu menguntungkan Pak Jokowi. Jadi enggak usah dia secara langsung ada di parpol,” pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai kemungkinan Jokowi maju dalam pemilihan calon ketum PSI mengemuka menimbang sampai sekarang.
“Ia belum memiliki kendaraan politik untuk menopang pengaruh dan menjaga legacy pemerintahannya selama 2 periode silam sebagaimana Mega dan SBY,” tutur Agung dihubungi terpisah.
Agung menuturkan, relevansi realitas politik itu semakin menemui momentum bila kini, Jokowi dan keluarga intensif menerima serangan bertubi-tubi dari berbagai arah sebagai ekses kepemimpinannya sekaligus residu Pilpres 2024.
Pada bagian lain, kata dia, PSI secara institusional juga membutuhkan sosok kuat agar bisa lolos parliamentary threshold atau ambang batas parlemen. “Di fase ini, pertanyaan mendasar muncul, apakah Jokowi tertarik menimbang beragam kepentingan politik dirinya yang berkelindan dengan kebutuhan PSI?” ungkapnya.
“Minusnya, Jokowi menjadi ‘milik PSI’, bukan lagi milik semua dan dalam jangka panjang,” tambahnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, bila PSI tak mentransformasi cepat magnet figur Jokowi ke dalam sistem kepartaian dikhawatirkan akan over-dependent alias terlalu bergantung kepada sosoknya. “Padahal, fungsi-fungsi partai untuk menghadirkan sosok-sosok baru melalui rekrutmen, kaderisasi, seleksi, dan seterusnya harus berjalan,” pungkasnya.