Ketakutan Amerika atas Senjata Nuklir Orbital China, Ibarat Bom dari Langit
Di tengah perlombaan senjata global yang kian mengancam, Amerika Serikat (AS) kini menghadapi sebuah tantangan futuristik yang membuat para jenderal Pentagon gelisah: potensi serangan nuklir China dari angkasa.
Ancaman seperti itu bukan sekadar imajinasi fiksi ilmiah, tetapi lahir dari kemajuan teknologi militer China yang berkembang pesat dalam satu dekade terakhir.
Pada 13 Mei lalu, Badan Intelijen Pertahanan (DIA) Amerika Serikat mengungkapkan kekhawatiran yang cukup mengejutkan, di mana China berpotensi memiliki puluhan rudal nuklir orbital yang siap meluncur dari luar angkasa menuju daratan AS.
“China dapat mengumpulkan puluhan rudal orbit dengan hulu ledak nuklir dalam sekitar sepuluh tahun,” bunyi laporan DIA yang dikutip Bloomberg.
FOBS, Senjata Masa Depan yang Menghindari Radar
Ancaman yang ditakuti AS ini datang dari sistem yang dikenal dengan nama Fractional Orbital Bombardment System (FOBS). Sistem ini bukan sekadar pengembangan dari rudal balistik antarbenua (ICBM), tetapi sebuah terobosan dalam taktik serangan nuklir.Rudal FOBS diluncurkan seperti ICBM, tetapi tidak langsung menuju target. Sebaliknya, ia memasuki orbit rendah bumi terlebih dahulu dan baru kemudian meluncur ke sasaran dari arah tak terduga—bahkan bisa dari Kutub Selatan, di mana sistem radar AS tidak siap siaga.
DIA telah menjelaskan dalam sebuah bagan yang dirilis bersamaan dengan pernyataan Gedung Putih terkait ancaman tersebut.“FOBS adalah sebuah ICBM yang memasuki orbit rendah sebelum kembali ke atmosfer untuk menyerang targetnya, dengan waktu tempuh jauh lebih singkat dibanding ICBM biasa," bunyi pernyataan tersebut.
"Atau dapat melintasi Kutub Selatan untuk menghindari sistem peringatan dini dan pertahanan rudal. Rudal ini melepaskan muatannya sebelum menyelesaikan satu putaran penuh orbitnya.”
Kelebihan utama FOBS adalah kemampuannya menipu sistem pertahanan rudal. Tidak seperti ICBM konvensional yang memiliki lintasan balistik dapat diprediksi, FOBS memungkinkan hulu ledak keluar dari orbit kapan saja dan menyerang dari arah mana pun. Dengan begitu, perisai pertahanan seperti NORAD [Komando Pertahanan Dirgantara Amerika Utara] menjadi kurang efektif.
Jejak Soviet dalam Senjata Orbit
FOBS bukan teknologi baru. Uni Soviet telah mengembangkannya pada 1960-an dengan rudal R-36O, dirancang khusus untuk menghindari radar AS yang fokus pada ancaman dari Kutub Utara. Rudal ini beroperasi dari tahun 1968 hingga 1983 sebelum dihentikan karena terbentur traktat luar angkasa 1967 dan kesepakatan SALT II tahun 1979 yang membatasi penggunaan senjata di orbit.Namun, China menghidupkan kembali ancaman ini pada tahun 2021 ketika mereka melakukan uji coba rahasia yang mengejutkan dunia. Dalam bulan Juli hingga Agustus tahun itu, Beijing meluncurkan roket Long March 2C yang membawa kendaraan luncur hipersonik (Hypersonic Glide Vehicle atau HGV) ke orbit rendah bumi. Setelah memutari sebagian bumi, kendaraan itu kembali ke atmosfer dan meluncur ke target pada kecepatan hipersonik.
“Kadang saya dengar istilah rudal hipersonik, kadang sub-orbital,” ujar Letnan Jenderal Chance Saltzman, Deputi Kepala Operasi Luar Angkasa AS untuk Urusan Operasi, Siber, dan Nuklir, merujuk pada uji coba China yang membingungkan Pentagon.
Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika saat itu, Jenderal Mark Milley, menyatakan dalam wawancara dengan Bloomberg TV pada Oktober 2021: “Yang kami lihat adalah peristiwa yang sangat signifikan dari uji sistem senjata. Ini sangat mengkhawatirkan. Saya tidak tahu apakah ini benar-benar momen Sputnik, tapi menurut saya sangat dekat. Ini menarik perhatian kami semua.”
DIA dalam laporannya memperkirakan bahwa pada tahun 2035, China bisa memiliki 60 rudal FOBS berkemampuan nuklir, 700 ICBM berhulu ledak nuklir (naik dari 400 unit saat ini), 132 rudal balistik berbasis kapal selam atau SLBM (naik dari 72 unit), dan 4.000 kendaraan luncur hipersonik (HGV), melonjak dari 600 unit saat ini
Sebagai perbandingan, Rusia diprediksi hanya akan memiliki sekitar 12 FOBS, 400 ICBM, dan 1.000 HGV pada tahun yang sama.
Data tersebut juga menyatakan bahwa China kemungkinan besar telah menempatkan rudal konvensional jarak jauh yang mampu menjangkau wilayah Alaska.
Protes Serangan Israel, Pemerintah Kota di Spanyol Ini Berani Tutup Kantor Perdagangan di Tel Aviv
AS Bakal Andalkan Golden Dome, Perisai Rudal Sangat Mahal
Sebagai respons terhadap ancaman ini, Presiden AS Donald Trump meluncurkan inisiatif bernama Golden Dome—sebuah sistem pertahanan rudal berbasis luar angkasa yang digambarkan sebagai perisai nasional terhadap segala jenis serangan rudal, baik dari darat, laut, udara, maupun orbit.Trump mengeluarkan perintah eksekutif pada 27 Januari lalu untuk mengembangkan sistem ini dan meminta Pentagon menyusun rencana arsitektural dalam waktu 60 hari. Dalam dokumen tersebut, dia menyebut potensi serangan rudal sebagai “ancaman paling katastrofik yang dihadapi Amerika Serikat.”
Trump ingin Golden Dome mampu mengatasi serangan rRudal balistik, hipersonik, rudal jelajah canggih, dan serangan udara generasi berikutnya dari negara adidaya, musuh setara, maupun negara nakal.
Meskipun belum ada informasi detail tentang arsitektur Golden Dome, sistem ini diperkirakan akan mencakup satelit pelacak, radar luar angkasa, interseptor orbit, senjata energi tinggi (laser) dan integrasi dengan sistem pertahanan darat seperti Ground-Based Midcourse Defense (GMD).
Proyek Golden Dome akan dikawal oleh Space Force (Pasukan Luar Angkasa) dan didukung dua program kunci Hypersonic and Ballistic Tracking Space Sensor (HBTSS) dan Proliferated Warfighter Space Architecture (PWSA).
Namun, masih banyak pertanyaan belum terjawab dari Golden Dome. Ketua Subkomite Anggaran Pertahanan Parlemen AS, Ken Calvert, bahkan menyampaikan skeptisismenya.
"Tidak ada yang benar-benar mendefinisikan Golden Dome itu apa. Apakah ini untuk melindungi seluruh 48 negara bagian bawah dan Alaska? Apa yang kita bangun dan bagaimana kita membangunnya? Semua konsultan di Washington mencoba ikut campur dalam proyek ini," katanya.
Golden Dome telah menjadi salah satu proyek terbesar dalam usulan anggaran pertahanan AS. Komite Angkatan Bersenjata DPR dan Senat telah mengalokasikan USD 24,7 miliar dari total usulan kenaikan anggaran sebesar USD 150 miliar untuk proyek ini saja.
Namun, Congressional Budget Office (CBO) memperkirakan bahwa pembangunan sistem ini—terutama jaringan interseptor luar angkasa—bisa menelan biaya hingga USD542 miliar dalam 20 tahun. Sebuah angka mencengangkan untuk teknologi yang masih belum terbukti secara operasional.