Efektivitas Stimulus Ekonomi

Efektivitas Stimulus Ekonomi

Nasional | sindonews | Selasa, 13 Mei 2025 - 19:30
share

Adhitya Wardhono, PhD Dosen dan peneliti ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (Ke-Ris Benefitly)- Universitas Jember. STIMULUS ekonomi pemerintah awal tahun 2025 dengan serangkaian penyaluran bantuan sosial (bansos), seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako atau Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan penyerapan gabah atau beras dari petani telah mengalir. Bahkan, tujuh stimulus ekonomi hadir di Bulan Puasa dan Lebaran kemarin. Deretan stimulus ini diyakini mendorong daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah dan memicu pertumbuhan ekonomi.

Beberapa tahun terakhir, kita juga menyimak bagaimana kebijakan stimulus ekonomi menjadi alat utama pemerintah menghadapi krisis. Pandemi global memaksa negara-negara merespons cepat dengan regulasi seperti bantuan tunai langsung, perluasan jaring pengaman sosial. Serta berbagai ikhtiar masif mendorong konsumsi domestik memutar roda ekonomi. Tapi apakah semua stimulus memiliki dampak yang sama? Dan pertanyaan ikutannya, apakah setiap rupiah stimulus memberikan hasil terbaik dalam hal pertumbuhan ekonomi?

Pertanyaan ini bukan sekadar teknis fiskal. Ini menyangkut efektivitas penggunaan uang publik, keadilan distribusi, dan dampak jangka panjang terhadap inflasi. Karena, siapa yang menerima stimulus jauh lebih penting daripada sekadar berapa besar jumlahnya.

Banyak kebijakan stimulus dirancang secara merata, semua rumah tangga mendapatkan nominal yang sama. Pendekatan ini dianggap adil, cepat, dan mudah dikelola. Namun kenyataannya, tidak semua kelompok masyarakat bereaksi sama terhadap bantuan yang diberikan. Perbedaan kondisi ekonomi rumah tangga menyebabkan perbedaan dalam perilaku konsumsi. Inilah kunci yang menjadi pusat perhatian teori Heterogeneous Agent New Keynesian (HANK), sebuah pendekatan baru ekonomi makro kanonik yang menekankan pentingnya memahami ketimpangan, kekayaan dan perbedaan perilaku rumah tangga dalam menjelaskan dampak kebijakan makroekonomi.

Rumah tangga tidak dipandang sebagai agen ekonomi tunggal yang homogen. Mereka adalah kumpulan individu dengan kekayaan, pendapatan, dan preferensi yang berbeda-beda. Konsekuensinya, saat pemerintah memberikan stimulus, respons dari tiap kelompok bisa sangat berbeda. Rumah tangga berpendapatan rendah atau dengan aset terbatas cenderung segera membelanjakan uang yang mereka terima. Dalam istilah ekonomi, mereka memiliki kecenderungan konsumsi marginal (marginal propensity to consume -MPC) yang tinggi. Setiap tambahan uang langsung diarahkan untuk kebutuhan pokok: membeli makanan, membayar tagihan, atau memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Uang mengalir langsung ke sektor riil dan mendorong permintaan.

Sebaliknya, rumah tangga berpendapatan tinggi atau yang sudah memiliki cukup tabungan cenderung menyimpan tambahan pendapatan. Mereka memiliki kecenderungan konsumsi marginal rendah. Artinya, jika stimulus diberikan kepada kelompok ini, dampak langsung terhadap konsumsi, dan dengan demikian terhadap pertumbuhan ekonomi, menjadi lebih kecil.

Konsepsional teori HANK menunjukkan bahwa meskipun dua kebijakan stimulus menghasilkan jumlah defisit yang sama dan menciptakan inflasi yang serupa, output atau pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan bisa sangat berbeda, tergantung pada siapa yang menerima stimulus. Dengan kata lain, rasio antara pertumbuhan dan inflasi, yang sering disebut rasio pengorbanan (sacrifice ratio), menjadi jauh lebih menguntungkan jika stimulus diarahkan ke rumah tangga dengan kecenderungan konsumsi marginal tinggi.

Fenomena ini sangat relevan ketika melihat situasi Indonesia saat ini. Pemerintah telah menjalankan berbagai program bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), hingga subsidi energi kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam jangka pendek, program-program ini memang menimbulkan tekanan inflasi, terlebih di tengah naiknya harga pangan dan energi global. Namun, jika stimulus tersebut mampu menjaga konsumsi rumah tangga dan menggerakkan sektor riil, maka tekanan inflasi itu adalah harga yang layak dibayar demi pertumbuhan.

Sebaliknya, ketika stimulus lebih banyak dinikmati oleh kelompok yang justru menambah tabungannya, efeknya terhadap perekonomian riil jauh lebih lemah. Uang berputar lebih lambat, konsumsi tidak naik signifikan, dan stimulus kehilangan fungsinya sebagai "pengungkit". Inilah yang menjadi perhatian utama dalam model HANK, yang menunjukkan bahwa efektivitas stimulus sangat ditentukan oleh distribusinya, bukan hanya totalnya.

Dalam masa krisis atau pemulihan, stimulus yang baik bukan hanya yang besar, tapi yang tepat sasaran. Pemerintah perlu cermat. Pemahaman terhadap perilaku konsumsi masyarakat, siapa yang membelanjakan, siapa yang menyimpan, menjadi modal penting dalam merancang kebijakan. Pendekatan yang mengabaikan keragaman ini bisa berakibat pada pemborosan fiskal: inflasi naik, tetapi tanpa pertumbuhan ekonomi yang sepadan.

Pelajaran penting lainnya adalah keseimbangan antara kebijakan fiskal dan moneter. Dalam model HANK, ketika bank sentral bersikap pasif terhadap inflasi, misalnya, karena suku bunga sudah rendah atau tidak ingin membebani sektor riil, maka kebijakan fiskal menjadi penentu utama dinamika harga dan output. Dalam situasi ini, desain stimulus menjadi lebih strategis. Pilihan siapa yang menerima stimulus bisa menentukan keberhasilan atau kegagalan pemulihan.

Yang lain ialah faktor psikologis. Rumah tangga yang merasa aman secara ekonomi justru lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Sebaliknya, rumah tangga kelompok bawah yang benar-benar membutuhkan tambahan dana akan langsung merespons dengan konsumsi. Efek psikologis ini memperkuat dampak fiskal terhadap permintaan domestik. Stimulus juga memiliki efek berganda yang lebih besar ketika diterima oleh kelompok dengan keterkaitan kuat pada ekonomi lokal. Ketika mereka membelanjakan di warung, membeli produk lokal, atau membayar jasa tetangga, uang tersebut berputar lebih cepat dan menciptakan efek ekonomi yang luas. Sebaliknya, stimulus ke rumah tangga kelompok atas cenderung mengalir ke investasi jangka panjang atau bahkan ke luar negeri, yang minim efek langsung terhadap permintaan domestik.

Krisis memberi ruang bagi introspeksi kebijakan. Logika teori HANK mengarus pada keinginan bahwasanya kebijakan publik yang mengabaikan keragaman perilaku ekonomi rumah tangga berisiko kehilangan efektivitas. Saatnya berpindah dari pendekatan satu ukuran untuk semua menuju kebijakan berbasis data dan kenyataan sosial ekonomi. Dengan pemahaman tidak semua rumah tangga memiliki kondisi dan respons yang sama terhadap kebijakan, kita bisa merancang stimulus yang lebih cerdas, efisien, dan adil. Bukan hanya menggerakkan angka makroekonomi, tetapi menciptakan dorongan nyata di tengah masyarakat yang paling membutuhkan.

Menjangkau pemulihan ekonomi Indonesia dan dunia tidak cukup ditopang oleh besarnya dana stimulus semata. Namun ditentukan ketepatan sasaran dan kekuatannya dalam mendorong konsumsi nyata di masyarakat. Efektivitas strategi fiskal dimaknai sebagai keniscayaan dan kemampuaanya menyentuh denyut kehidupan ekonomi riil, terutama pada kelompok terdampak.

Di sinilah teori HANK memberikan pijakan bahwa kebijakan yang mempertimbangkan keragaman kondisi rumah tangga bukan hanya lebih adil, tetapi juga lebih efisien dalam menggerakkan perekonomian secara menyeluruh. Tinggal bagaimana pemerintah mengartikulasikan dan mengimplementasikan dalam kebijakan subtansif, serta mengevaluasi kebijakan yang sudah dilakukan di tengah pertumbuhan melambat kuartal l-2025 yang hanya 4,87 persen secara tahunan.

Topik Menarik