Mitigasi Daerah dalam Efisiensi APBN

Mitigasi Daerah dalam Efisiensi APBN

Nasional | sindonews | Senin, 21 April 2025 - 13:29
share

Candra Fajri AnandaStaf Khusus Menkeu RI

INSTRUKSI Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Pemerintah membawa konsekuensi besar terhadap pengelolaan keuangan daerah, khususnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Melalui kebijakan ini, pemerintah pusat menekankan pentingnya efisiensi dalam penggunaan anggaran, sejalan dengan upaya menjaga keseimbangan fiskal nasional.

Dampak dari instruksi ini terasa beragam di tiap daerah, mengingat kapasitas fiskal masing-masing daerah berbeda-beda. Daerah dengan kapasitas fiskal tinggi mungkin memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menyikapi kebijakan ini, sementara daerah dengan kapasitas fiskal rendah berpotensi menghadapi tekanan lebih berat dalam menyesuaikan program dan belanja prioritasnya.

Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) daerah menjadi faktor kunci yang menentukan perbedaan reaksi pemerintah daerah terhadap kebijakan efisiensi ini. Daerah dengan IKF tinggi cenderung memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang kuat dan ketergantungan terhadap transfer pusat yang lebih rendah, sehingga dapat mengatur ulang prioritas belanja dengan lebih leluasa.

Sebaliknya, daerah dengan IKF rendah yang sangat bergantung pada Dana Transfer Umum dan Dana Alokasi Khusus (DAK) akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan layanan publik dasar di tengah penghematan anggaran. Oleh sebab itu, respons daerah terhadap Inpres 1/2025 tidak bersifat seragam, melainkan sangat bergantung pada kapasitas fiskal yang dimiliki masing-masing wilayah.

Salah satu fokus utama dari Inpres No 1/2025 adalah penekanan pada efisiensi belanja infrastruktur, khususnya melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik. Berbeda dari sebelumnya, dalam tahun anggaran 2025, pemerintah pusat menerapkan kebijakan pemblokiran atas pencairan DAK fisik tersebut.

Artinya, meskipun alokasi anggaran sudah tercatat dalam dokumen APBD, daerah tidak dapat serta-merta menggunakan dana tersebut hingga ada pembukaan blokir dari pemerintah pusat. Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk memastikan bahwa penggunaan dana benar-benar mendukung proyek prioritas nasional dan memenuhi kriteria kesiapan pelaksanaan yang ketat.

Meski demikian, kebijakan pemblokiran DAK fisik tersebut menimbulkan ketidakpastian di tingkat daerah. Alhasil, keterlambatan dalam pembukaan blokir tersebut dapat berimplikasi pada keterlambatan realisasi fisik dan keuangan proyek, bahkan berisiko mengurangi serapan anggaran secara keseluruhan. Di sisi lain, daerah juga dituntut untuk lebih sigap dan memenuhi seluruh persyaratan administratif serta kesiapan teknis proyek agar blokir dapat segera dicabut.

Kemandirian Fiskal di IndonesiaKebijakan efisiensi anggaran memiliki dampak yang berbeda terhadap daerah, tergantung pada tingkat kemandirian fiskalnya. Daerah yang memiliki kemandirian fiskal tinggi, ditandai dengan kontribusi pendapatan asli daerah yang besar terhadap APBD-nya, relatif tidak terlalu terdampak oleh kebijakan ini.

Menurut data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian Keuangan RI (2024), hanya sekitar 21 dari total kabupaten/kota di Indonesia yang masuk kategori tinggi dalam kapasitas fiskal, sementara sisanya masih tergolong sedang dan rendah. Daerah-daerah dengan kapasitas fiskal tinggi memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menjaga keberlanjutan belanjanya. Sebaliknya, daerah dengan IKF rendah akan menghadapi tekanan berat karena keterbatasan pendapatan membuat ruang fiskal mereka semakin sempit dan belanja untuk pelayanan publik pun berpotensi menurun.

Indeks Kapasitas Fiskal menjadi indikator penting dalam melihat daya tahan fiskal suatu daerah terhadap kebijakan efisiensi. Ketergantungan tersebut membuat daerah dengan IKF rendah sangat rentan terhadap kebijakan penghematan belanja, termasuk pembatasan belanja barang, jasa, maupun infrastruktur. Artinya, jika tidak ada upaya peningkatan pendapatan daerah secara signifikan, maka daerah-daerah tersebut akan mengalami keterbatasan dalam penyediaan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.

Kunci utama untuk meningkatkan IKF adalah memperkuat PAD melalui optimalisasi local taxing power. Daerah-daerah seperti DKI Jakarta dan Kota Surabaya mencatat kontribusi PAD terhadap APBD di atas 50, sedangkan banyak daerah di kawasan Indonesia Timur masih berada di bawah 15. Misalnya, Kabupaten Lombok Tengah di Nusa Tenggara Barat tercatat hanya menyumbang sekitar 9 dari total pendapatan daerah.

Demikian pula, Kabupaten Kaur di Bengkulu mencatat kontribusi PAD sebesar 3,86 terhadap total penerimaan APBD. Fakta ini mempertegas pentingnya upaya memperluas basis pajak daerah untuk memperkecil ketimpangan kapasitas fiskal antarwilayah.

Sejatinya, Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) No 1 Tahun 2022 memberikan landasan hukum untuk memperkuat local taxing power daerah. Melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 112/PMK.07/2022, daerah diberi keleluasaan memperluas sumber pendapatan, termasuk pengelolaan pajak baru dan opsen pajak.

Peningkatan local taxing power dan efisiensi pengumpulan pajak berbasis teknologi akan memperkuat IKF serta membangun kemandirian fiskal daerah. Daerah yang mampu mengoptimalkan PAD dan meningkatkan layanan publik akan lebih tangguh menghadapi tekanan efisiensi anggaran, sekaligus mempercepat pembangunan ekonomi lokal yang inklusif dan berkelanjutan.

Pembangunan Daerah Berbasis Inovasi PembiayaanKini, dalam menghadapi keterbatasan fiskal, pemerintah perlu mendorong inovasi dan mencari sumber pembiayaan alternatif untuk membiayai belanja-belanja penting yang berperan strategis dalam pembangunan. Belanja seperti program beasiswa untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan infrastruktur desa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, serta pengelolaan aset pemerintah daerah secara lebih profesional merupakan prioritas yang tidak boleh dikorbankan meskipun terdapat tekanan efisiensi anggaran. Untuk menjaga keberlanjutan belanja strategis ini, pemerintah perlu berpikir kreatif dalam menciptakan model pendanaan yang lebih beragam di luar skema APBD/APBN tradisional.

Salah satu pendekatan yang dapat diperluas adalah melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Skema KPBU memungkinkan pelibatan sektor swasta dalam pembiayaan proyek-proyek publik tanpa membebani keuangan pemerintah secara langsung. Di bidang infrastruktur desa, misalnya, pemerintah daerah dapat merancang proyek berbasis KPBU untuk membangun jalan desa, jaringan air bersih, atau pasar rakyat dengan tetap mempertahankan standar pelayanan publik yang tinggi.

Demikian pula, pengembangan aset-aset pemda – seperti tanah, gedung, dan fasilitas umum – dapat dikelola secara lebih profesional dan dikomersialisasikan secara terbatas untuk meningkatkan nilai ekonominya tanpa menghilangkan fungsinya sebagai barang publik. Pemerintah perlu memperkuat dukungan regulasi, insentif, dan kapasitas teknis bagi daerah agar mampu merancang skema inovatif dan pembiayaan alternatif.

Pendampingan dalam menyiapkan proyek yang layak investasi (bankable), penyusunan dokumen proyek KPBU, serta penguatan tata kelola (governance) dalam pengelolaan aset daerah menjadi kunci keberhasilan implementasi pembiayaan non-tradisional ini. Dukungan tersebut akan memperbesar peluang daerah untuk mengakses sumber pembiayaan baru yang lebih beragam dan berkelanjutan.

Hanya dengan mendorong inovasi dan memperluas skema pembiayaan alternatif, pemerintah dapat menjaga kesinambungan belanja-belanja penting tanpa sepenuhnya bergantung pada keterbatasan APBD atau APBN. Melalui penguatan KPBU, profesionalisasi pengelolaan aset daerah, serta optimalisasi teknologi dalam tata kelola keuangan, daerah memiliki peluang besar untuk mempercepat pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Langkah ini tidak hanya memperkuat ketahanan fiskal daerah, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang berbasis kolaborasi, efisiensi, dan inovasi. Semoga.

Topik Menarik