Menurunkan Prevalensi Stunting

Menurunkan Prevalensi Stunting

Nasional | sindonews | Jum'at, 18 April 2025 - 20:20
share

Muhammad Irvan Mahmud Asia

Sekjen DPP Serikat Rakyat Indonesia (SERINDO)

STUNTING merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mendesak dan telah menjadi fokus utama agenda kesehatan nasional. Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting Indonesia mencapai 21,5. Meski tren dalam 5 tahun terakhir menunjukan penurunan, rata-rata 1,85 per tahun.

Persentase tersebut masih cukup tinggi dibandingkan standar World Health Organization (WHO) di bawah 20. Dengan demikian, Indonesia terkategorikan negara dengan prevalensi stunting kronis.

Berkaca pada pencapaian 5 tahun terakhir-hanya turun 9,3, sehingga target pemerintah menurunkan prevalensi dilevel 14 (target RPJMN 2020-2024) nyaris mustahil. Patut dinantikan hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI) tahun 2024 yang sedang proses finalisasi.

Mengacu pada publikasi Asian Development Bank (ADB) tahun 2020 dimana terdapat 31,8 anak di Indonesia mengalami stunting. Menjadikan Indonesia tertinggi ke dua di Asia Tenggara setelah Timor Leste. Sementara laporan World Bank, Indonesia berada posisi empat setelah Burundi (50,9), Eritrea (49,1), dan Timor Leste (48,8).

Tingginya angka stunting tidak saja mengindikasikan kurangnya asupan gizi yang memadai pada anak, tetapi juga mencerminkan ketidakseimbangan akses terhadap layanan kesehatan dasar, air bersih, sanitasi, dan praktik pemberian makanan yang tepat.

Situasi ini menunjukkan kesenjangan ekonomi dan sosial yang mencolok antar daerah di Indonesia. Sebagai salah satu indikator gizi terpenting, stunting sering digunakan sebagai ukuran untuk menilai kemajuan atau kemunduran suatu negara dalam mencapai SDGs.

Tujuan 2 SDGs adalah salah satunya adalah mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik pada tahun 2030, yang ditargetkan menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi untuk anak pendek dan kurus dibawah usia 5 tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, serta manusia lanjut usia (manula).

Dampak Jangka Panjang

Stunting jelas berdampak pada gangguan pertumbuhan (berat lahir, kecil, pendek, dan kurus), hambatan perkembangan kognitif dan motorik, dan gangguan metabolik pada saat dewasa berupa risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, dan sebagainya. Dan secara luas berdampak pada ketersediaan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.

Laporan World Bank (2020) menyebut Human Capital Index (HCI) sebagai tolak ukur untuk menilai kualitas produktivitas optimum penduduk di masa depan, antara lain sangat ditentukan oleh pertumbuhan anak hingga usia lima tahun. Dalam laporan itu, nilai HCI Indonesia sebesar 0,54.

Angka ini menggambarkan bahwa bayi usia 5 tahun (balita) di Indonesia hanya akan mencapai 54 persen dari potensi maksimalnya saat dewasa. Jika permasalahan ini gagal diatasi, harapan bonus demografi tahun 2045 atau Indonesia Emas yang kita impikan tidak akan tercapai-termasuk tujuan SDGs.

Daya saing SDM Indonesia akan tertinggal, pada gilirannya memunculkan pengangguran dan kemiskinan. Data Global Competitiveness (2019) daya saing Indonesia berada diperingkat 50 dari 141 negara, masih di bawah Malaysia, Thailand dan Singapura.

Secara ekonomi, bayi yang tumbuh dengan stunting berpenghasilan 20 lebih rendah dari anak yang sehat. Bahkan kerugian negara akibat stunting diperkirakan sekitar Rp300 triliun per tahun. Stunting pun dapat menurunkan PDB negara sebesar 3.

Pemerintahan Prabowo Subianto harus bekerja keras menekan stunting terutama di daerah yang memiliki prevalensi tinggi. Hasil SKI 2023, angka prevalensi stunting tertinggi secara berturut adalah Papua Tengah (39,4), Nusa Tenggara Timur (37,9), dan Papua Pegunungan (37,3).

Penyebab stunting di Indonesia cukup beragam, diantaranya: Pertama, pendapatan orang tua yang rendah dan ini didukung dengan hasil penelitian Lestari at al, (2018) dimana 51,7 anak dari keluarga berpendapatan rendah mengalami stunting dibandingkan dengan 28,6 pada keluarga berpendapatan tinggi. Dampaknya ibu yang hamil, dan anak mendapatkan asupan energi dan protein yang rendah.

Kedua, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan konsumsi makanan bergizi seimbang sebelum dan pada masa kehamilan membuat masalah makin runyam. Misalnya ada ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai yang berakibat pada anemia.

Ketiga, akses ke air bersih dan sanitasi. Bagi keluarga pra sejahtera atau daerah-daerah yang sumber airnya terbatas, jika mau mendapatkan air bersih harus mengeluarkan biaya tambahan. Sementara sanitasi terdapat rumah tangga BAB di ruang terbuka karena tidak mampu membuat MCK dan seterusnya.

Keempat, di level pengambil kebijakan, belum sepenuhnya menjadikan ketersediaan, kualitas dan pemanfaatan data untuk menyusun kebijakan-bias evidence based policy; penyelenggaraan intervensi gizi spesifik - sensitif masih belum terpadu; fokus sumber daya dan sumber dana belum maksimal; dan keterbatasan kapasitas penyelenggara program advokasi dan sosialisasi.

Fokus Intervensi

Perpres No 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting telah memberikan gambaran visi dan kolaborasi multipihak dalam pengentasan stunting. Pasal 6 ayat (2) disebutkan ada 5 pilar strategi nasional percepatan penurunan stunting. Kelima pilar itu yakni peningkatan komitmen dan visi pimpinan di kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa; peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat; peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitif di kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan pemerintah desa; peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, serta masyarakat; dan penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.

Agar Perpres tersebut tidak sekedar norma, diperlukan perubahan mendasar yang dimulai dari cara pandang (terutama bagi penyelenggara negara) bahwa stunting adalah ancaman terhadap daya saing bangsa. Konsekuensinya analisis dan pendekatannya harus komprehensif baik pada tahap pencegahan maupun penanganan.

Disusul dengan penguatan konvergensi dalam arti intervensi dilakukan secara kolektif-melibatkan berbagai pemangku kepentingan: pemerintah termasuk pemerintah desa, masyarakat lokal, organisasi non pemerintah, swasta dan lembaga donor. Para pihak ini berkolaborasi dengan peran-tanggungjawab, dan kontribusi yang jelas dalam mengurangi stunting. Porsi terbesar jelas ada pada pemerintah.

Selanjutnya program intervensi dimulai dari perbaikan perencanaan, anggaran program intervensi spesifik dan sensitif; peningkatan kualitas pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan peningkatan kapasitas SDM pelaksana.

Penggunaan Dana Desa

Pemerintah Desa diberi ruang untuk memanfaatkan dana Desa dalam upaya percepatan penuruna stunting. Pasal 11 ayat (2) Perpes 72/2021 menjelaskan dengan gamblang bahwa pemerintah desa harus memprioritaskan penggunaan dana desa untuk mendukung penyelenggaraan percepatan penurunan stunting. Salah satu bentuk intervensinya adalah pemberian makanan bergizi seimbang bagi keluarga resiko stunting dengan optimalisasi bahan pangan lokal dalam kegiatan Dapur Sehat Atasi Stunting di Kampung Keluarga Berkualitas (DASHAT).

Diperinci kembali dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal No 2 Tahun 2024 tentang Petunjuk Operasional atas Fokus Penggunaan Dana Desa Tahun 2025.

Pasal 2 ayat (1) Fokus penggunaan dana desa diutamakan penggunaannya untuk peningkatan promosi dan penyediaan layanan dasar kesehatan skala Desa termasuk stunting yang dilaksanakan melalui (pasal 6 huruf a) promosi dan penyediaan layanan dasar kesehatan dalam rangka pencegahan dan penurunan stunting di Desa.

Dalam optimalisasi bahan pangan lokal sebagaimana dimaksudkan kegiatan DASHAT mendapatkan ruang fiskal yang cukup luas dalam Permendesa 2/2024 yang dikatrol paling rendah sebesar 20 (pasal 7 ayat 4). Besaran persentase ini disesuaikan dengan karateristik dan potensi desa dan melibatkan BUM Desa, BUM Desa bersama atau kelembagaan ekonomi masyarakat di Desa.

Untuk memperlancar penggunaan dana Desa untuk pangan, Menteri Desa Yandi Susanto juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal No 3 Tahun 2025 tentang Panduan Penggunaan Dana Desa untuk Ketahanan Pangan dalam Mendukung Swasembada Pangan.

Muara dari semua upaya ini adalah prevalensi stunting menurun dan anak-anak Indonesia tumbuh menjadi anak yang sehat dan berkualitas sesuai cita-cita Indonesia Layak Anak Tahun 2030 yaitu menjadi anak cerdas, kreatif, peduli dan memiliki sikap kepemimpinan.

Topik Menarik