Jelang Hari Lahir Pancasila, Buku Membangun Karakter Anak Bangsa Diluncurkan

Jelang Hari Lahir Pancasila, Buku Membangun Karakter Anak Bangsa Diluncurkan

Nasional | sindonews | Kamis, 30 Mei 2024 - 19:11
share

Praktisi Hukum Agus Widjajanto meluncurkan buku berjudul "Membangun Karakter Anak Bangsa Melalui Pemahaman Falsafah Leluhur dan Nilai Pancasila". Peluncuran buku tersebut digelar sehari jelang peringatan Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni.

Peluncuran buku yang dihadiri tim penulis yakni, Rusdin Tahir, Nandang, Wawan Wahyudin, Sam'un, dan Rahman ini diselenggarakan di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Buku ini kami tulis sebagai bentuk keprihatinan yang mendalam sebagai anak bangsa atas kondisi bangsa," kata Agus, Kamis (30/5/2024).

Bentuk keprihatinan yang dimaksud, kata dia, didasarkan pada kondisi bangsa yang dirasa telah kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa. Padahal, jati diri ini adalah ruhnya Indonesia namun tergerus akibat pengaruh budaya dan doktrin asing.

Pengaruh budaya itu salah satunya terjadi karena kemajuan teknologi informasi. Kemajuan yang pada gilirannya membuat tidak ada lagi batas wilayah sebuah negara. Semua orang bisa dengan mudah mengakses informasi tanpa filter melalui gadget. Padahal tidak semuanya benar.

"Informasi yang kadang sulit untuk disaring tapi diterima begitu saja. Akibatnya banyak nilai-nilai jati diri bangsa tergerus, juga ajaran luhur bangsa dan nilai-nilai Pancasila," tuturnya.

Pria kelahiran Kudus Jawa Tengah itu mengungkapkan, rasa kebangsaan perlahan tapi pasti luntur pada generasi muda. Banyak generasi muda saat ini mulai tidak paham dan meninggalkan budaya sendiri sebagai sebuah bangsa yang sangat minim pengetahuan atas sejarah bangsanya.

Di sisi lain, peralihan kepemimpinan nasional dari Orde Baru ke Orde Reformasi seakan memberikan kesan bahwa semua orang mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya. Baik dalam mengekpresikan diri maupun mengeluarkan pendapat yang memang telah dijamin oleh konstitusi.

"Tapi banyak juga yang melupakan hakekat dari kebebasan itu sendiri, terutama menyangkut rasa bertanggung jawab dan menghormati hak dari orang lain yang menjadi ajaran luhur para pendiri bangsa," ucap Agus dan tim penulis.

Ajaran yang mengajarkan secara bijak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa ini sebagai bangsa yang besar dan berbudaya tinggi mulai sirna. Fenomena degradasi moral bukan hanya menyangkut budaya tapi seluruh aspek kehidupan baik politik, ekonomi, hukum, dan sosial.

"Buku ini memuat ajakan agar segenap anak bangsa, di samping mengejar kemajuan dengan hal-hal baru, tapi juga jangan melupakan etika luhur dan budaya bangsa sendiri, agar tercipta keselarasan di semua lini kehidupan," katanya.

Diingatkan pula bahwa menjaga nilai-nilai luhur bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan seluruh pihak. Baik kaum pendidik, agamawan, budayawan, dan setiap insan sebagai warga negara.

Agus berharap upaya membangun kembali karakter bangsa terus digalakkan agar bangsa ini kembali jati dirinya sesuai warisan leluhur dan para pendiri bangsa serta raja-raja nusantara yang agung di masa lalu.

Dalam bukunya, Agus menekankan bahwa hidup sejatinya adalah agar bisa memberikan pencerahan kepada sesama sebagai lilin penerang kehidupan (urip kuwi sejatine urup). Diharapkan semua pihak kembali membumi kepada Ibu Pertiwi dan tidak pernah lupa budaya dan adat istiadat sendiri sebagai bangsa timur.

Tentunya sesuai nilai luhur Pancasila bukan hanya berkedudukan sebagai Dasar Negara saja, akan tetapi juga sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa yang telah mulai dilupakan oleh generasi muda anak bangsa. "Karena budaya kita adalah paternalistik, semuanya harus dimulai dari para pemimpin yang memberikan suri tauladan sekaligus panutan bagi semua anak bangsa," ucapnya.

Agus Widjajanto dan tim penulis mengingatkan kembali atas falsafah kepemimpinan Jawa yang diaktualisasikan pada zaman modern saat ini. Falsafah yang dulu diterapkan oleh Raja-raja Agung Nusantara yang memang mempunyai jiwa kepemimpinan agung, jiwa, dan wawasan hati yang luas, perilaku yang menjunjung tinggi etika, moral, nilai-nilai agama dan hukum yang disepakati bersama.

"Tiada gading yang tak retak, tapi setidaknya buku ini sebagai upaya mengembalikan pemikiran terhadap sesama anak bangsa agar tidak melupakan jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya besar," pungkasnya.

Topik Menarik