Menteri LHK Ungkap Pentingnya Carbon Governance, Ini Penjelasannya

Menteri LHK Ungkap Pentingnya Carbon Governance, Ini Penjelasannya

Nasional | sindonews | Jum'at, 10 Mei 2024 - 14:06
share

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) , Siti Nurbaya menyatakan, carbon governance kunci perdagangan karbon. Carbon governance menjadi penting dengan elemen dan penerapannya yang perlu menjadi perhatian bagi semua.

"Carbon governance merupakan instrumen koherensi aktualisasi pelaku bisnis dan pemerintah dalam proses yang diketahui secara terang dan dapat diikuti dengan baik oleh publik," kata Menteri Siti Nurbaya dalam pernyataan tertulis KLHK, Jumat (10/5/2024).

"Penerapan Carbon Governance akan menempatkan secara tepat sasaran aksi iklim dan nilai ekonomi karbon untuk kepentingan nasional," tambahnya.

Dalam kaitan ini Menteri LHK menyebut Perpres 98 yang merupakan refleksi kedaulatan sumber daya alam dengan nilai akhir yaitu karbon, yang harus menjadi pegangan nasional.

Ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahwa perdagangan karbon harus dengan tata kelola yang tepat. Artinya, harus ada carbon governance sebagai pedoman.

Dalam iklim dan karbon, peran pelaku bisnis cukup besar karena factor, pertama bisnis memiliki material yang cukup banyak; kedua, bisnis memiliki kekuatan finansial dan teknologi; ketiga, bisnis memiliki mobilitas transnasional dan menjadi konduktor pengembangan teknologi di dunia.

Kemudian keempat, bisnis dapat menjadi sentral dalam implementasi penurunan emisi dan di antaranya dengan aksi radikal dalam hal teknologi, serta kelima, bisnis merupakan mesin pertumbuhan.

Ditegaskan Menteri LHK, penerapan yang sembrono atas offset karbon hutan dapat berimplikasi pengurangan kawasan hutan yang berpindah ke Luar Negeri tanpa terkendali sehingga akan berimplikasi pada "hilangnya kawasan negara".

"Karena hilangnya jurisdiksi kewenangan pengaturan wilayah atau kawasan negara tersebut akibat kontrak swasta/korporat berkenaan dengan kontrak dagang karbon yang mereka lakukan dengan land management agreement," jelasnya.

Terkait ancaman hilangnya kawasan negara, Kementerian LHK sudah menangani kasus yang membahayakan kedaulatan negara sehingga harus diambil tindakan fan sanksi kepada yang bersangkutan dan bisa diambil contohnya di Indonesia.

"Ketika pemerintah melakukan pengawasan terhadap perusahaan konsesi hutan untuk langkah perbaikan, ternyata tidak bisa lagi dilakukan langkah atau operasional dilakukan oleh pemegang ijin konsesi hutan tersebut, karena kendali pengelolaannya sudah berpindah ke pihak lain di luar negeri dan dalam hal contoh ini yaitu di Hong Kong," tutur Menteri Siti.

Padahal, pemegang izin tersebut mendapat izin dari pemerintah RI dengan segala kewajibannya, yang tidak dapat dilaksanakan dan bahkan telah "menyerahkan" atau "mengalihkan" izin dari pemerintah RI kepada pihak lain di luar negeri.

"Dengan kondisi pelanggaran atas perizinan kawasan hutan serta ketidaktaatan dalam aturan, maka kepada perusahaan yang demikian, oleh Pemerintah RI telah dijatuhkan sanksi pencabutan dan pembekuan," ungkapnya.

Kondisi seperti contoh ini memberikan gambaran bahwa terjadi pengalihan konsesi ke luar negeri tanpa diketahui oleh pemerintah, tanpa kendali pemerintah, karena tidak mengikuti aturan dengan alasan merupakan kegiatan offset carbon voluntary.

"Bisa dibayangkan apabila pemegang izin definitif konsesi karbon (restorasi ekosistem) yang saat ini luasnya telah mencapai 215 ribu ha izin definitif (6 perusahaan) dan sedang berproses menjadi sekitar 80 unit konsesi karbon dengan luas bisa mencapai di atas 2 juta ha, maka bisa terjadi pengalihan areal hutan negara ke luar negeri tanpa kendali dan tidak diketahui oleh pemerintah atas alasan voluntary," tegasnya.

Dengan demikian kata Menteri Siti, secara tidak disadari wilayah yang luas hingga jutaan hektar tersebut telah akan beralih ke luar negeri tanpa bisa diketahui ke mana beralihnya dan dikuasai oleh siapa.

Dengan kata lain, pemerintah hanya tahu bahwa perusahaan memiliki izin di atas kertas, hanya berupa ijin tanpa wilayah, (tidak ada kewajiban yang bisa dilakukan dan tidak ada pembinaan oleh pemerintah RI).

"Karena wilayahnya sudah dikuasai pihak lain (asing); bukan lagi menjadi sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dengan hak konstitusionalnya pada rakyat Indonesia. Indonesia bisa kehilangan wilayah negara atas nama bisnis dan voluntary," ungkapnya.

Menerapkan metode sertifikasi karbon secara sembrono tanpa kendali Pemerintah akan dapat berimplikasi pada "melayangnya" juridiksi teritori wilayah dan dalam skala yang massif, menjadi bukan tidak mungkin kita hanya akan memiliki negara tanpa wilayah, atau virtual country. Dagang karbon secara sembrono jelas merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara.

"Perdagangan karbon yang sembrono bisa merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara. Untuk itu ada persyaratan untuk perdagangan karbon agar tidak membahayakan kedaulatan negara dan harus diatur oleh pemerintah atas nama kekuasaan negara," tandas Menteri Siti sambil menambahkan bahwa salah satu ketentuan dan persyaratan perdagangan karbon adalah penggunaan metodologi untuk menghitung kinerja pengurangan emisi GRK.

Menurut Menteri LHK, sudah ada pengaturan dengan Permen LHK Nomor 21 tahun 2022 Pasal 60 Ayat (2) huruf F. Metodologi yang dapat digunakan dalam penghitungan emisi yaitu: (1) metodologi yang telah disetujui oleh UNFCCC atau badan di bawahnya seperti Badan Pengawas CDM atau Badan Pengawas A6.4 Paris Agreement; (2) methodologi yang telah ditetapkan oleh Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPI-KLHK), selaku National Focal Point (NFP) UNFCCC Indonesia; atau (3) Ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN).

"Metodologi memegang peran penting karena menjelaskan data aktifitas dan faktor emisi yang digunakan serta metodologi penghitungan emisi yang dipakai," tutupnya.

Topik Menarik