Kekejaman Raja Mataram Picu Pemberontakan Bangsawan Madura hingga Hancurkan Ibu Kota Plered

Kekejaman Raja Mataram Picu Pemberontakan Bangsawan Madura hingga Hancurkan Ibu Kota Plered

Infografis | sindonews | Minggu, 5 Mei 2024 - 07:03
share

KARAKTER Sultan Amangkurat I saat memimpin Kerajaan Mataram berujung pada ketidakpuasan sejumlah pihak. Kala itu sifat Sultan Amangkurat I itu kerap memicu kontroversi hingga konflik di internal istana kerajaan.

Ketidakpuasan konon muncul dari timur wilayah kekuasaan. Saat itu Trunojoyo, yang menjadi dalang utama pemberontakan ke ibu kota kerajaan, meluluhlantakkan Istana Plered. Serangan selama lima hari membuat ibu kota kerajaan yang megah itu pun hancur.

Baca juga: Kebengisan Amangkurat II Eksekusi Mati Trunojoyo: Kepala Dipenggal, Diinjak, Ditumbuk

Trunajaya, merupakan seorang bangsawan asal Madura yang melakukan serangan kepada Kerajaan Mataram.

Serangan ke Mataram ini juga disokong oleh sekutu Madura, yang kebanyakan dari Makassar. Sebelum meluluhlantakkan ibu kota Mataram Plered, pasukan Trunojoyo bergerak terlebih dahulu dengan menyerang beberapa daerah kekuasaan Mataram, di pesisir utara Jawa pada 1676.

"Peperangan pertama antara pasukan Trunojoyo dengan Mataram pecah di Gedogog pada 1676. Saat itu pasukan Trunajaya berhasil menang, dan perlahan tapi pasti menguasai wilayah utara Pulau Jawa yang menjadi kekuasaan Mataram" demikian dikutip dari "Tuah Bumi Mataram : Dari Panembahan Senopati hingga Amangkurat II".

Bahkan konon serangan ini membuat Sultan Amangkurat I terdesak dan melarikan diri kembali ke Plered. Tetapi malang ia meninggal dunia saat berada di tempat pelariannya.

Sejarah mencatat Pemberontakan Trunojoyo ini disebabkan kepimpinan Sultan Amangkurat I yang cenderung diktator dan kejam terhadap lawan-lawan politiknya. l

Baca juga: Kisah Mistis Trunojoyo Semedi Sebelum Perang di Sumur Daksan

Hal ini menjadikan banyak ketidakpuasan timbul dari daerah-daerah kekuasaan Mataram kala itu, termasuk Madura.

Banyak tokoh bangsawan dan ulama yang menjadi korban kekejaman Sultan Amangkurat I.

Bahkan sebagian tokoh yang dibantai oleh Amangkurat I adalah tokoh-tokoh di Jawa Timur yang dihormati, termasuk salah satunya ayah Trunojoyo bernama Raden Demang Melayakusuma.

Mertua Sultan Amangkurat I, Pangeran Pekik yang merupakan anak Adipati Surabaya juga tak lepas dieksekusi oleh Raja Mataram keempat tersebut.

Pembantaian anak turun kebangsawanan Jawa Timur ini memicu persoalan serius permusuhan antara Amangkurat I dengan para kawula Jawa Timur.

Hasilnya bisa terbukti, pasca Amangkurat I mangkat alias wafat, anaknya Amangkurat II juga harus menanggung konflik yang disebabkan ayahnya.

Raden Trunojoyo adalah keturunan penguasa Madura, yang dipaksa tinggal di Keraton Mataram setelah kekalahan dan pencaplokan oleh Mataram, pada tahun 1624.

Setelah ayahnya Trunojoyo dieksekusi oleh Amangkurat I pada 1656, ia meninggalkan Keraton Mataram dan pindah ke Kajoran. Ia lalu menikahi putri dari Raden Kajoran, kepala dari keluarga yang berkuasa di sana.

Keluarga Kajoran sendiri adalah keluarga ulama kuno yang kemudian terikat pernikahan dengan keluarga kerajaan.

Sebagai tokoh agama, Raden Kajoran khawatir dengan kebrutalan dan kebringasan pemerintahan Amangkurat I, termasuk eksekusi mati para bangsawan di keraton.

Hal ini memicu niatan para bangsawan di Jawa Timur memberontak ke Kerajaan Mataram.

Apalagi pasukan Trunojoyo juga diperkuat oleh pasukan Makassar pasca jatuhnya Makassar ke VOC. Para migran dari Makassar ini pun akhirnya bergabung ke pasukan Trunojoyo ketika melakukan pemberontakan ke Mataram.

Tercatat ada sekitar 9.000 orang terdiri dari pada pejuang Makassar, bangsawan Jawa, dan Madura, turut serta melakukan pemberontakan ke Mataram.

Hal ini konon membuat jumlahnya meningkat tajam. Bahkan para penguasa Giri, yang notabene pengikut Sunan Giri juga turut berperang bergabung pada tahun 1676, melakukan pemberontakan ke Mataram.

Ayah mertua Trunojoyo, Raden Kajoran berpengaruh cukup besar pada terkumpulnya pasukan begitu besar ini.

Bahkan ia dan pasukannya juga turut bergabung setelah kemenangan Trunojoyo Gegodog, pada September 1676.

Pemberontakan ini kian kuat setelah Pangeran Sampang, yang kelak mendapat gelar Cakraningrat II, juga turut bergabung setelah jatuhnya Ibu Kota Mataram pada 1677.

Topik Menarik