Kisah Rp160 Triliun Apple yang Lenyap & Resep Sukses Xiaomi Kuasai Pasar Mobil Listrik

Kisah Rp160 Triliun Apple yang Lenyap & Resep Sukses Xiaomi Kuasai Pasar Mobil Listrik

Otomotif | sindonews | Jum'at, 11 Juli 2025 - 10:27
share

Di atas panggung peluncuran SUV listrik keduanya yang gegap gempita, Lei Jun, pendiri dan CEO Xiaomi, tak bisa menahan diri. Dengan senyum penuh kemenangan, ia secara terbuka menyindir Apple, raksasa teknologi yang telah "membakar" USD10 miliar (sekitar Rp 160 triliun) selama satu dekade penuh hanya untuk menyerah pada mimpi mobil listrik mereka.

"Sejak Apple berhenti mengembangkan mobilnya, kami memberikan perhatian khusus kepada para pengguna Apple," ujarnya, sebuah sindiran tajam yang disambut riuh. Beberapa saat kemudian, "bom" kedua diledakkan: Xiaomi mengumumkan telah menerima lebih dari 289.000 pesanan untuk SUV barunya hanya dalam satu jam.

Ini bukan lagi sekadar peluncuran produk. Xiaomi, perusahaan yang lebih dikenal dengan smartphone hingga air purifier, telah berhasil melakukan apa yang gagal dilakukan oleh perusahaan paling bernilai di dunia. Pertanyaannya kini bukan lagi "apakah" mereka berhasil, tetapi "bagaimana" mereka melakukannya? Jawabannya adalah sebuah resep yang terdiri dari pragmatisme, pembajakan talenta agresif, dan pelajaran pahit dari masa lalu.

Mimpi 'Bulan' Apple vs. Langkah 'Bumi' Xiaomi

Kegagalan Apple, yang dikenal sebagai "Project Titan", sebagian besar disebabkan oleh ambisi mereka yang terlalu liar. Mereka tidak hanya ingin membuat mobil listrik; mereka ingin menciptakan sebuah lompatan kuantum—mobil yang sepenuhnya otonom (Level 5) sejak awal. Tujuan yang terus berubah dan terlalu tinggi ini membuat mereka menghabiskan satu dekade tanpa satu pun produk yang bisa ditunjukkan.

Di sisi lain, Lei Jun, 55 tahun, mengambil pendekatan yang jauh lebih membumi. Ia mempertaruhkan reputasi pribadinya, menyebut proyek mobil ini sebagai "proyek wirausaha terakhirnya". Alih-alih bermimpi, ia belajar.Secara terbuka, Xiaomi mengaku telah mengunjungi berbagai produsen mobil China dan berbicara dengan lebih dari 200 pakar industri. Namun, di balik narasi diplomatis itu, ada sebuah strategi yang lebih agresif.

Senjata Rahasia: 'Membajak' Otak Terbaik

Kenyataannya adalah Lei Jun menggunakan reputasi raksasa Xiaomi untuk "membajak" talenta-talenta terbaik dari para pemain lama. Sebuah cerita yang populer di internal Geely menyebutkan bagaimana Lei Jun menambahkan kontak WeChat banyak staf di lembaga riset mereka, termasuk sang direktur, Hu Zhengnan, yang kemudian bergabung dengan firma investasi milik Lei Jun.

"Para pemburu bakat Xiaomi sangat agresif mendekati staf Geely," ungkap seorang sumber internal. "Meskipun perpindahan talenta itu biasa, level agresivitas ini tidak biasa."

Xiaomi berhasil mengumpulkan "tim impian" dari berbagai raksasa otomotif seperti BMW, General Motors, hingga pemasok komponen Magna Steyr. Mereka tidak mencoba menciptakan dari nol; mereka membeli keahlian yang sudah ada.

Pelajaran Pahit dari Samsung dan Cengkeraman Rantai Pasok

Lei Jun tidak pernah melupakan pelajaran pahit di masa lalu. Pada 2016, Samsung, pemasok layar utama mereka, sempat mengancam akan menghentikan pasokan. Lei Jun harus terbang ke Korea Selatan, meminta maaf, dan bernegosiasi habis-habisan untuk menyelamatkan produksi ponselnya.Pelajaran ini ia bawa ke bisnis mobil. Alih-alih bergantung pada pihak lain, Xiaomi menginvestasikan lebih dari USD1,6 miliar (sekitar Rp 25,6 triliun) untuk membangun rantai pasoknya sendiri, mulai dari baterai, chip, hingga suspensi. Mereka juga membangun pabrik sendiri, sebuah langkah yang tidak diambil oleh para pesaing seperti Nio dan Xpeng di awal.

"Di antara perusahaan teknologi yang kini membuat mobil listrik, mereka yang sebelumnya memiliki produk perangkat keras tampaknya lebih sukses daripada mereka yang hanya memiliki perangkat lunak," ujar Paul Gong, kepala riset otomotif China di UBS Group AG.

Kritik Pedas dan Sisi Gelap di Balik Kesuksesan

Namun, jalan Xiaomi tidak sepenuhnya mulus. Kritik pedas terus menghujani mereka. Sedan SU7 mereka secara sinis dijuluki "Porsche Mi" karena desainnya yang dianggap meniru Porsche secara terang-terangan. "Tidak tahu malu," adalah deskripsi yang dilaporkan pernah dilontarkan oleh seorang wakil presiden dari SAIC, salah satu raksasa otomotif China.

Lebih parah lagi, sebuah kecelakaan fatal yang melibatkan SU7 pada bulan Maret, di mana teknologi assisted driving-nya sedang aktif, menjadi sebuah noda hitam yang sulit dihapus dan memicu pengawasan ketat dari otoritas.

Pertaruhan yang Belum Usai

Meskipun kesuksesan awalnya fenomenal, skala Xiaomi masih sangat kecil. Target pengiriman 350.000 unit pada 2025 terlihat seperti kurcaci jika dibandingkan dengan 4,3 juta unit yang dijual BYD atau 1,78 juta unit dari Tesla tahun lalu. Mereka juga belum berani masuk ke pasar massal di bawah USD20.000 (sekitar Rp320 jutaan), arena di mana BYD menjadi raja tak terkalahkan.

"Xiaomi adalah pendatang baru di industri otomotif," aku Lei Jun di Weibo. Namun, ia menambahkan, di pasar yang didorong oleh teknologi dan inovasi, "selalu ada peluang bagi para pendatang baru."

Pada akhirnya, kisah Xiaomi ini adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana pragmatisme, kecepatan, dan kontrol rantai pasok bisa mengalahkan ambisi yang terlalu muluk. Namun, pertaruhan mereka belum usai. Dengan rencana ekspansi global mulai 2027, mereka akan segera berhadapan dengan tembok tarif dan geopolitik yang tidak mereka temui di "rumah" mereka sendiri. Pertanyaannya kini, akankah resep rahasia yang berhasil di China ini cukup ampuh untuk menaklukkandunia?

Topik Menarik