WWF Indonesia Buka Suara soal Penyebab Banjir dan Longsor di Sumatera

WWF Indonesia Buka Suara soal Penyebab Banjir dan Longsor di Sumatera

Terkini | okezone | Kamis, 11 Desember 2025 - 21:12
share

JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan korban meninggal dunia bencana di Sumatera mencapai 990 orang.  Sedangkan, 222 jiwa lainnya masih hilang dan terus dilakukan pencarian.

WWF Indonesia menilai musibah banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat tidak dibisa disalahkan kepada satu pihak, terutama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.

CEO WWF Indonesia, Aditya Bayunanda mengatakan, bencana ini merupakan hasil dari proses panjang akibat tata kelola lingkungan yang bermasalah selama bertahun-tahun.

“Terlihatnya ini sesuatu yang akumulasi ya. Jadi, ini sebetulnya akibat dari pengelolaan yang bertahun-tahun ya, belasan tahun jadi bukan hanya sesaat,” ujar , Aditya dilansir dari akun resmi WWF Indonesia, Kamis (11/12/2025).

Menurutnya, akar penyebab bencana harus dilihat dari rangkaian kebijakan masa lalu yang memberikan ruang besar bagi eksploitasi kawasan hutan tanpa mitigasi yang memadai.

“Jelas ini bukan kesalahan ataupun sesuatu tanggung jawab yang hanya bisa dibebankan untuk menteri sekarang (Raja Juli Antoni),” tegasnya.

Aditya juga menyoroti lemahnya kepatuhan pemegang izin terhadap regulasi perlindungan lingkungan. Salah satu yang paling krusial ialah aturan mengenai perlindungan sepadan sungai, yang sebenarnya telah dibuat untuk mencegah banjir bandang. Namun, implementasinya di lapangan tidak konsisten.

Dia mencontohkan banyaknya perkebunan dan kegiatan pertambangan yang justru membangun hingga ke bibir sungai.

 

“Banyak sekali kita lihat perkebunan itu membuat kebunnya itu ya sampai pinggir sungai. Misalnya untuk konteks pertambangan dan sebagainya. Jadi, bahkan bisa dibilang hanya sebagian kecil yang betul-betul menjalankan upaya untuk melindungi sepadan sungainya,” ungkapnya.

Menurutnya, jalan keluar dari persoalan ini bukan dengan mencari kambing hitam, melainkan membenahi tata kelola hutan secara menyeluruh.

“Mulai dari penegakan aturan perlindungan sungai, hingga pengawasan yang lebih kuat,”tutup Aditya.

Topik Menarik