NU di Tengah Badai Pemakzulan Gus Yahya
UPAYA pemakzulan terhadap Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya dari jabatan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyiratkan satu hal penting, NU tidak hanya dilanda keretakan di internalnya, tapi juga ujian krisis reputasi terhadap NU sebagai organisasi keagamaan terbesar.
Isu terkait konflik di internal NU sudah beberapa kali terjadi, Ironinya, kali ini dipandang sebagai yang paling menyedihkan. Sejak isu ini bergulir, NU seolah disibukkan oleh opini publik yang berkembang. Terlebih saat surat pemecatan Gus Yahya dari pihak Syuriah NU bocor ke publik.
Dari situ satu per satu alasan pemecatan terkuak, sehingga sangat mempengaruhi citra Gus Yahya sebagai ketum PBNU sekaligus NU sendiri secara kelembagaan.
Kritik terhadap Ketua Umum Gus Yahya muncul awalnya terkait kehadiran akademikus pro Zionis asal Amerika Serikat, Peter Berkowitz sebagai pembicara pada acara Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) Pascasarjana UI di Balairung UI, Depok, 23 Agustus 2025. Saat itu, Gus Yahya telah mengaku menyesal dan meminta maaf karena mengundang Berkowitz.
Kemudian menyusul beberapa tuduhan lain terhadap Gus Yahya, termasuk soal pengelolaan organisasi. Sayangnya, dalam memahami isu yang terus berkembang di publik, pihak PBNU tampak mengabaikan apa yang seharusnya menjadi perhatian utama sejak awal. Itu karena isu ini kemudian kian melebar hingga menyeret sejumlah kepentingan di internal PBNU.
Citra NU pun semakin dipertaruhkan dengan mulai banyaknya bermunculan sejumlah pihak dari internal NU sendiri yang kemudian menyebar narasi adanya kepentingan lain di dalam PBNU yang tengah bergerak. Mulai dari isu konsesi tambang, politik hingga Zionis.
Hingga persoalan ini berlanjut kepada saling klaim antara kubu Gus Yahya dan kubu Syuriah. PBNU mengakui Gus Yahya tetap sebagai Ketua Umum PBNU yang sah, tapi kubu Syuriah tetap mengklaim Gus Yahya sudah resmi dipecat.
Ulama sebagai Pemegang Legitimasi
NU telah berdiri sejak 1926. Otoritas keilmuan para Ulama di lingkungan NU sangat dijunjung tinggi bahkan menjadi fondasi utama di setiap pergerakan organisasi NU.
Dalam tradisi berbasis pesantren, ulama menjadi referensi utama, khususnya dalam setiap pengambilan keputusan. Tak heran jika tradisi tersebut terus hidup dan dijaga hingga saat ini, khususnya saat terjadi konflik pemakzulan terhadap ketua umum.
Karena itu, tak heran dalam isu pemakzulan ini, meski NU telah memiliki AD/ ART sendiri dengan pergantian ketua umum diputuskan melalui muktamar, tapi peran sentral ulama atau kiayi tak bisa dilepaskan begitu saja dalam setiap pengambilan keputusan.
Citra Lembaga vs Personal
Jika melihat dinamika yang berlangsung terkait isu pemakzulan ini, yang menjadi sorotan justru bukan saja soal pertikaian dan rangkaian isu yang menyertainya. Tapi, juga sikap PBNU dalam merespons isu negatif yang terus berkembang dan justru berhembus dari sosok-sosok di internal.
Dalam teori Manajemen Reputasi Organisasi, PBNU seharusnya melihat citra institusi sebagai sesuatu yang lebih penting dibela ketimbang membela figur personal.
Beberapa poin yang menjadi catatan kritis bagi PBNU dalam merespons isu yang berkembang usai drama perpecahan dan pemakzulan ini, antara lain:
1. NU terlalu lama mengambil alih narasi utama yang sudah berkembang masif.
Ketika isu pemakzulan muncul, narasi yang berkembang dari NU justru terkait sosok Gus Yahya yang tidak menerima keputusan rapat Syuriah soal pemecatan dirinya. PBNU secara lembaga justru luput memberikan penjelasan kepada publik secara lengkap dan jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga framming yang dibuat oleh kubu Syuriah terkait sosok
Gus Yahya justru semakin menguat di mata publik. Tentunya ini menjadi sebuah kekeliruan komunikasi, karena PBNU seolah membiarkan pihak lain mendefinisikan persoalan.
2. Respons defensif lebih dominan
Narasi yang muncul kemudian justru lebih ke arah membela Ketua Umum terkait posisinya. Namun, PBNU justru tidak membuat penjelasan kepada publik secara jelas terkait isu yang beredar, apakah merupakan fakta dan mana yang merupakan opini pihak internal.
Tentunya hal ini membuat publik bertanya, apa yang sedang ditutupi dalam konflik internal NU ini?
3. Sulit memisahkan kepentingan lembaga dan ketua umum
Saat terjadi krisis reputasi di sebuah lembaga, pemulihan reputasi organisasi adalah hal mutlak. Tapi yang terjadi di PBNU dalam beberapa minggu terakhir, PBNU justru terlihat
seolah membela figur individu. Karena itu, muncul narasi "keretakan di NU" karena NU justru tidak hadir sebagai sebuah lembaga, tapi seolah mewakili figur kubu tertentu.
Menegakkan Reputasi dan Momentum Penguatan Organisasi
Sebagai institusi besar bukan berarti NU terbebas dari konflik. Justru dinamika NU dalam sejarah perkembangannya, selalu dipenuhi berbagai konflik internal.
Bahkan, Pengamat politik, budaya dan sosial yang juga Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia), Amsar A. Dulmanan, menyebut konflik yang terjadi saat ini di internal PBNU merupakan bagian dari dinamika organisasi. Karena itu menurutnya, ada mekanisme yang harus ditempuh seperti tabayyun dan diselesaikan melalui jalur muktamar.
Terlepas dari konflik yang terjadi di PBNU, secara institusi NU sebenarnya telah memiliki perangkat dalam organisasi untuk megendalikan krisis yang terjadi di internalnya.
Sayangnya, hal itu tidak dilakukan saat isu pemakzulan ramai jadi pembahasan di berbagai media konvensional maupun media sosial. Sehingga narasi yang terbentuk justru soal keretakan di internal NU, ketimbang narasi yang mencerminkan NU sebagai lembaga yang kokoh dan terbuka.
Akhirnya, konflik internal NU pun menjadi terbuka di ruang publik. Bahkan posisi ketua umum semakin menjadi sasaran komentar negatif di media sosial. Setiap kali persoalan NU
ini dibahas, maka akan banyak tanggapan-tanggapan miring dari masyarakat terkait citra ketua umum. Akhirnya berimbas kepada citra NU sebagai organisasi.
Pemberitaan media hanya berfokus pada aksi saling tuding dua kubu di NU dan saling klaim terkait legalitas kepemimpinan. Karena hal ini terus berlangsung, reputasi NU pun mulai tergerus di mata publik.
Krisis ini akan menjadi pembelajaran penting bagi NU untuk melakukan pembaruan dalam penanganan krisis dan peningkatan reputasi. Tentunya ke depan harus ada penguatan terhadap rumah besar Nahdlatul Ulama.
Ditulis oleh: Fitri Ramadhani, Mahasiswa Magister Komunikasi Korporat Universitas Paramadina










