Jonatan Christie soal Jadi Pelatih: Masih Mau Main
JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran semakin meningkat terhadap kemampuan sistem pendidikan China dalam menghasilkan lulusan yang mampu memenuhi tuntutan ekonomi yang semakin kompleks dan didorong oleh inovasi.
Meski jumlah lulusan universitas di China terbilang mengesankan—lebih dari 11,79 juta pada tahun 2024, dan diperkirakan mencapai 12,22 juta pada tahun 2025—para pengamat berpendapat bahwa institusi-institusi ini justru mencetak pemegang gelar yang kurang siap mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di jantung krisis ini terdapat model pendidikan yang melemahkan pemikiran kritis, meminggirkan pendidikan vokasional, dan memaksakan keseragaman ideologis yang secara khusus berdampak pada kelompok minoritas etnis.
Ketika China bertransisi dari ekonomi berbasis manufaktur menuju ambisi untuk memimpin dalam teknologi tinggi, energi hijau, dan kecerdasan buatan, kebutuhan akan tenaga kerja yang terampil, adaptif, dan kreatif menjadi lebih mendesak dari sebelumnya.
Namun, saluran yang seharusnya menyuplai tenaga kerja tersebut justru tidak memadai.
Mengutip dari The Hong Kong Post, Minggu, (18/5/2025), para pemberi kerja mengeluhkan lulusan yang kekurangan keterampilan dasar pemecahan masalah, kurangnya kemampuan beradaptasi, serta minimnya keahlian teknis yang dibutuhkan untuk bersaing di pasar global.
Dalam sistem yang masih sangat berfokus pada hafalan dan pembentukan ideologi, para mahasiswa lulus dengan gelar tetapi tanpa bekal praktis dan intelektual yang diperlukan di dunia kerja modern.
Dampak keseragaman ideologis
Masalah utama dari isu ini dinilai terletak pada semakin kuatnya kendali Partai Komunis China (PKC) atas isi dan metode pendidikan.
Sejak Presiden Xi Jinping mengkonsolidasikan kekuasaan, sistem pendidikan China mengalami sentralisasi yang ketat, dengan penekanan tajam pada “pendidikan patriotik.”
Ini mencakup kewajiban mempelajari Pemikiran Xi Jinping serta penghilangan sistematis perspektif humaniora yang mendorong debat terbuka dan pemikiran independen.
Para dosen diawasi ketat, buku pelajaran disensor, dan mahasiswa diajarkan untuk mengutamakan kesetiaan ideologis ketimbang penalaran analitis.
Kekakuan ideologis ini menghasilkan apa yang disebut banyak pihak sebagai “ekonomi ijazah”—sebuah sistem yang lebih menghargai kredensial daripada kompetensi.
Mahasiswa mungkin unggul dalam ujian, tetapi mereka kerap didorong untuk tidak menantang otoritas, mempertanyakan doktrin, atau mengejar gagasan-gagasan tak lazim.
Padahal justru kualitas-kualitas itulah yang menjadi dasar inovasi, kewirausahaan, dan kepemimpinan ekonomi yang dinamis.
Dampaknya sangat terasa. Di banyak universitas elit, mahasiswa yang mencoba menyelenggarakan forum akademik independen atau mempertanyakan isi kurikulum langsung dibungkam atau dihukum.
Staf pengajar yang menyimpang dari garis resmi partai terancam diberhentikan, atau lebih buruk lagi.
Dalam atmosfer yang mengekang intelektualitas ini, gagasan tentang pendidikan liberal perlahan menghilang, digantikan oleh metode pengajaran top-down yang memuja keseragaman sebagai kebajikan.
Pendidikan Vokasional Dipinggirkan
Satu celah mencolok lainnya dalam strategi pendidikan China adalah rendahnya penghargaan terhadap pendidikan vokasional.
Meskipun pernyataan resmi berulang kali mendorong “kebanggaan buruh,” sekolah vokasional tetap kekurangan dana, distigmatisasi secara sosial, dan buruk integrasinya ke dalam ekonomi yang lebih luas.
Para orang tua dan siswa secara umum lebih memilih gelar akademis dari universitas, bahkan di bidang-bidang yang sudah jenuh, daripada mengambil risiko dianggap inferior secara sosial karena memilih pendidikan teknis atau kejuruan.
Bias budaya ini merongrong upaya China dalam membangun tenaga kerja yang mampu mendukung manufaktur berteknologi tinggi dan pengembangan infrastruktur.
Pemberi kerja di bidang seperti teknik otomotif, robotika, dan fabrikasi semikonduktor kerap melaporkan kekurangan tenaga kerja yang memiliki pengalaman langsung dan keterampilan teknis terapan.
Sementara Jerman, Jepang, dan Korea Selatan telah mengintegrasikan pelatihan vokasional sebagai pilar pembangunan ekonomi, China justru tertinggal, terjebak dalam paradoks di mana jutaan lulusan universitas menganggur sementara posisi kerja terampil tetap kosong.
Angkanya pun berbicara. Pengangguran pemuda di daerah perkotaan—di luar kategori pelajar—mencapai 15,7 pada Desember 2024, dan sempat mencapai 21,3 pada Juni 2023—rekor tertinggi, yang mendorong pemerintah menghentikan publikasi data tersebut.
Sebagian besar dari pemuda pengangguran ini adalah lulusan universitas yang tidak dapat diterima bekerja di sektor yang menuntut kreativitas tinggi atau keterampilan praktis—dua hal yang tidak dikembangkan dalam sistem saat ini.
Kebijakan Terhadap Etnis Minoritas
Memperparah kelemahan sistemik ini adalah kebijakan Sinosasi paksa oleh PKC, terutama di wilayah-wilayah dengan populasi minoritas etnis seperti Tibet, Mongolia Dalam, dan Xinjiang.
Di wilayah-wilayah ini, pendidikan tidak digunakan sebagai alat pemberdayaan, melainkan sebagai instrumen penghapusan budaya.
Bahasa Mandarin dipaksakan sebagai bahasa utama pengantar, sementara bahasa lokal dan kurikulum budaya ditekan atau bahkan dilarang.
Siswa dari kelompok etnis minoritas sering kali dimasukkan ke dalam sistem sekolah asrama yang dirancang untuk mencabut identitas asli mereka dan menanamkan kesetiaan kepada negara-partai.
Homogenisasi yang agresif ini tidak hanya melanggar hak budaya—tetapi juga mengekang keberagaman kognitif.
Penelitian menunjukkan bahwa pluralisme linguistik dan budaya dapat mendorong pemikiran kreatif dan perkembangan intelektual yang lebih luas.
Dengan menekan unsur-unsur ini, PKC tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga merampas masa depan tenaga kerjanya dari perspektif dan pendekatan pemecahan masalah yang beragam—yang justru esensial di era ekonomi berbasis pengetahuan dan globalisasi.
Dampaknya dua arah: komunitas minoritas teralienasi dan kurang terwakili dalam pendidikan tinggi maupun dunia kerja, sementara negara secara keseluruhan kehilangan kontribusi potensial dari jutaan individu berbakat yang secara sistematis didorong ke pinggiran.
Kekecewaan Generasi Muda
Dampak dari semua kegagalan struktural ini kini mulai tampak dalam sikap para pemuda China sendiri. Semakin banyak lulusan universitas yang merasa kecewa terhadap nilai pendidikan yang mereka terima.
Fenomena daring “berbaring datar” —sebuah istilah yang merujuk pada perlawanan pasif terhadap tekanan sosial melalui minimalisme dan penarikan diri—kian populer di kalangan anak muda yang kecewa terhadap kompetisi hiper dan prospek kerja yang suram.
Banyak dari mereka tidak lagi percaya bahwa pencapaian akademis menjamin kesuksesan, terutama ketika sistem pendidikan itu sendiri terasa kosong dan tidak relevan dengan kebutuhan dunia nyata.
Rasa letih generasional ini sangat berbahaya bagi negara yang dulu membanggakan diri atas kemajuan ekonomi yang cepat dan ambisi meritokratis.
Jika pikiran-pikiran paling cemerlang di China justru kehilangan semangat, menganggur, atau dikondisikan secara ideologis untuk menghindari pemikiran kritis, maka negara ini berisiko mengalami stagnasi justru ketika ia paling membutuhkan pembaruan.
Perlu Reformasi
Pemerintah China tampaknya menyadari masalah ini—setidaknya secara permukaan.
Dokumen kebijakan dari Kementerian Pendidikan sesekali menyebut perlunya reformasi metode pengajaran, promosi kreativitas, dan dukungan terhadap pendidikan vokasional.
Namun, upaya-upaya ini masih terhambat oleh kebutuhan dominan untuk mempertahankan kendali ideologis.
Reformasi yang dijalankan pun cenderung bersifat kosmetik atau terfragmentasi, tidak mampu mengimbangi persoalan sistemik yang bersumber dari model pemerintahan otoriter PKC.
Ketika ekonomi global semakin bergantung pada inovasi, kemampuan beradaptasi, dan keterhubungan, sistem pendidikan China justru tampak bergerak ke arah sebaliknya—menuju keseragaman, kekakuan, dan ortodoksi ideologis.
Dengan cara ini, China tidak hanya melemahkan lulusannya sendiri, tetapi juga melemahkan ambisi ekonomi yang lebih luas dari sebuah negara yang ingin memimpin di abad ke-21.