Krisis Gaza dan Diplomasi Indonesia-Prancis
Eko ErnadaDosen Hubungan Internasional Universitas Jember
SEJAK awal abad ke-20, Gaza telah menjadi simbol luka sejarah, persinggungan kekuasaan kolonial, benturan ideologi nasionalisme, dan pertarungan hak-hak kemanusiaan yang terus berlangsung. Dari masa Mandat Britania, pembentukan negara Israel, hingga perang-perang Arab-Israel yang berulang, Gaza selalu menjadi episentrum konflik yang tak kunjung selesai.
Derita Gaza bukanlah sekadar statistik kekerasan atau berita headline, melainkan cermin kegagalan komunitas internasional menghadirkan keadilan dan perdamaian yang berkelanjutan. Jika kita melihat dari kacamata filosofis, maka Gaza menjadi metafora bagi dunia yang kehilangan keseimbangan antara kekuasaan dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dalam konteks inilah, kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia bukan hanya peristiwa diplomatik biasa, tetapi momen refleksi penting: bagaimana dua negara dari latar belakang berbeda mencoba menyusun ulang makna tanggung jawab moral dan politik atas penderitaan di Gaza?
Prancis: Diplomasi Besar dalam Bayang-Bayang Sejarah
Prancis memiliki sejarah panjang sebagai kekuatan kolonial di Timur Tengah, khususnya di Suriah dan Lebanon. Memori sejarah ini turut membentuk persepsi dan pendekatan Prancis dalam melihat konflik Palestina-Israel.Sejak era pasca-Perang Dunia II, Prancis memainkan peran diplomatik yang berusaha menyeimbangkan antara aliansi geopolitik dengan Israel dan dukungan moral pada aspirasi rakyat Palestina. Dari perspektif behavioral, kebijakan luar negeri Prancis menunjukkan pola "politik dua muka": di satu sisi aktif mendorong resolusi damai melalui Dewan Keamanan PBB, tetapi di sisi lain tetap menjaga relasi strategis dengan Israel karena faktor ekonomi, pertahanan, dan posisi sebagai sekutu utama Barat.
Pendekatan kebijakan luar negeri Prancis dalam konteks Gaza dapat dibaca sebagai cerminan rasionalitas negara yang berorientasi pada kepentingan nasional, meskipun dikemas dalam retorika idealisme. Ada paradoks yang mencuat di sini: apakah kepentingan nasional itu benar-benar sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sering digembar-gemborkan Prancis?
Dalam pertemuanya dengan Presiden Prabowo Subianto, suasana penuh simbolisme diplomatik dan ekspektasi tinggi terlihat jelas di Jakarta. Prancis tidak hanya menyuarakan dukungan terhadap penyelenggaraan konferensi perdamaian internasional, tetapi juga menekankan komitmen untuk mendorong solusi dua negara sebagai jalan keluar.
Namun, jika kita mengacu pada pola historis, komitmen Prancis kerap berhenti pada retorika tanpa keberanian mengambil langkah-langkah konkret seperti sanksi tegas atau tekanan diplomatik nyata terhadap Israel.
Narasi multilateralisme yang mereka angkat menjadi seperti tirai retoris yang menyembunyikan kalkulasi realpolitik, di mana stabilitas kawasan, relasi dagang, dan aliansi strategis tetap menjadi prioritas utama. Di sisi lain, pernyataan Prabowo tentang kesiapan Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan Israel jika kemerdekaan Palestina diakui, memperlihatkan bahwa kedua negara sebenarnya berbagi pandangan normatif yang sama, meski dengan cara yang berbeda.
Dengan demikian, komitmen Prancis soal Gaza perlu dibaca bukan hanya dari kata-kata mereka, tetapi juga dari jejak perilaku historis mereka dan potensi keberanian mereka untuk menggeser paradigma lama di arena global.
Indonesia: Suara Moral Dunia Berkembang
Indonesia lahir dari rahim perjuangan anti-kolonial, dan identitas sejarah ini menjadi fondasi kuat bagi perspektif kebijakan luar negeri negara ini. Solidaritas Indonesia terhadap Palestina tidak sekadar berbasis pada isu keagamaan, melainkan juga merupakan refleksi dari sejarah panjang penolakan terhadap kolonialisme, penindasan, dan pendudukan.Oleh karena itu, dalam berbagai forum internasional, Indonesia secara konsisten menyuarakan aspirasi dunia Selatan yang menuntut agar Palestina diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri, sebagaimana bangsa Indonesia juga pernah memperjuangkannya.
Konsistensi sikap ini tercermin dalam pendekatan diplomatik Indonesia terhadap konflik Gaza dan isu Palestina secara lebih luas.
Meskipun ada godaan untuk mengambil langkah-langkah pragmatis yang mungkin menguntungkan secara ekonomi atau politik, Indonesia tetap berpegang pada posisi normatif yang tegas mendukung Palestina tanpa syarat. Sikap ini menunjukkan bagaimana identitas nasional dan nilai-nilai historis melekat kuat dalam kebijakan luar negeri, membentuk perilaku negara di panggung global.
Namun, Indonesia juga menyadari pentingnya membangun aliansi strategis dengan kekuatan besar seperti Prancis untuk memperkuat tekanan diplomatik internasional terhadap penyelesaian konflik.
Sinergi Indonesia-Prancis: Membangun Peluang Baru?
Pertemuan antara Macron dan Prabowo menjadi menarik karena menyatukan dua pendekatan historis yang berbeda. Prancis membawa pengaruh sebagai kekuatan besar dengan kapasitas negosiasi tingkat tinggi, sementara Indonesia membawa legitimasi moral dari dunia Selatan yang lama mendukung Palestina.Dalam pernyataan bersama mereka, krisis Gaza diangkat sebagai salah satu isu prioritas, di samping kerja sama ekonomi dan strategis lainnya. Hal ini menciptakan peluang: bisa jadi, koalisi negara maju dan berkembang seperti ini yang diperlukan untuk memecah kebuntuan diplomasi internasional.
Namun, keberhasilan sinergi ini bergantung pada sejauh mana keduanya mampu melampaui pendekatan simbolik. Indonesia perlu mendorong Prancis agar tidak hanya berbicara soal perdamaian, tetapi juga berani menekan Israel dan mendukung langkah-langkah konkret seperti pemulihan hak warga Gaza, penghapusan blokade, dan penghentian kekerasan.
Sebaliknya, Prancis bisa memanfaatkan kedekatan Indonesia dengan dunia Islam untuk membangun jembatan dialog yang lebih konstruktif. Dalam kerangka teori liberalisme, kerja sama antarnegara dapat memperkuat institusi internasional yang mendukung perdamaian, tetapi ini hanya efektif jika semua pihak memiliki komitmen yang sama kuatnya.
Jalan Sulit Menuju Keadilan
Dari sudut pandang kritis, upaya bersama Indonesia dan Prancis tetap harus dihadapkan pada realitas bahwa penyelesaian konflik Gaza bukan sekadar soal niat baik, tetapi soal dinamika kekuasaan global yang sangat timpang. Selama Amerika Serikat tetap menjadi pendukung utama Israel, dan selama kekuatan regional seperti Iran, Turki, atau Mesir memainkan agenda masing-masing, resolusi yang benar-benar adil akan sulit dicapai. Teori hegemoni menjelaskan bahwa kekuasaan global sering kali mendikte arah resolusi konflik, dan suara-suara seperti Indonesia atau bahkan Prancis bisa dengan mudah tersingkir jika tidak didukung kekuatan struktural yang memadai.Namun, sinyal dari Indonesia dan Prancis tetap penting sebagai langkah awal membangun front internasional yang lebih berani bersuara. Prediksi jangka pendeknya, tekanan diplomatik mungkin hanya menghasilkan gencatan senjata sementara atau peningkatan bantuan kemanusiaan.
Untuk mencapai perdamaian berkelanjutan, perlu ada restrukturisasi besar dalam arsitektur keamanan kawasan, termasuk peran PBB yang lebih kuat, reformasi mekanisme veto di Dewan Keamanan, serta peningkatan kapasitas diplomasi publik untuk membentuk opini global.
Saatnya Bergerak, Bukan Sekadar Bicara
Krisis Gaza adalah pengingat pahit bahwa diplomasi internasional sering gagal melindungi mereka yang paling rentan. Kunjungan Macron ke Indonesia membawa secercah harapan, tetapi juga mengajukan pertanyaan mendalam: apakah kedua negara ini siap melangkah lebih jauh dari sekadar pernyataan bersama? Apakah mereka berani mengubah pendekatan historis mereka menjadi aksi nyata yang mampu mendobrak kebuntuan lama?Sebagai publik global, kita tidak boleh berhenti menuntut. Gaza bukan hanya urusan orang Palestina, melainkan urusan kita semua sebagai sesama manusia yang percaya pada keadilan, martabat, dan hak untuk hidup tanpa ketakutan. Dunia menunggu, dan waktu terus berjalan.
Kita membutuhkan diplomasi yang tidak hanya bergerak di ruang-ruang elit, tetapi juga diplomasi yang mengakar pada suara-suara korban, diplomasi yang berani menantang status quo, dan diplomasi yang berani memihak pada keadilan sejati.










