Pasangguhan, Jabatan Strategis Istana Kerajaan Majapahit
JAKARTA - Kerajaan Majapahit menyusun sedemikian rupa struktur pemerintahannnya. Beberapa jabatan di internal istana disusun, salah satunya jabatan Pasangguhan. Posisi itu menjadi amat penting dalam mengorganisir suatu pemerintahan di kala itu.
Bahkan pentingnya jabatan itu membuat Kakawin Nagarakretagama mencatatnya. Nagarakretagama melampirkan kisah jabatan Pasangguhan di Pupuh 10.
Jabatan itu merupakan satu dari beberapa pejabat yang menghadap ke raja selaku pemimpin tertinggi di wilayah Kerajaan Majapahit. Mereka itu disebut sebelum sang Panca Wilwatikta, era Raden Wijaya.
Penyebutan itu berarti bahwa Pasangguhan adalah jabatan yang sangat tinggi dalam pemerintahan Majapahit. Sampai sekarang, hal itu masih merupakan persoalan yang belum dapat dipecahkan.
Kiranya pasangguhan itu dapat disamakan dengan hulubalang raja dalam hikayat-hikayat Melayu atau senapati dalam kesusastraan Jawa. Pendapat ini didasarkan atas pemberitaan piagam Kudadu, 1294, sebagaimana dikutip dari "Tafsir Sejarah Nagarakretagama", yang menyebutkan empat orang pasangguhan.
Mereka juga disebut sebelum sang panca Wilwatika yang terdiri dari patih, demung, kanuruhan, rangga, dan tumenggung dan sesudah tiga Mahamenteri, Mahamenteri Hino, Mahamenteri Hala dan Mahamenteri Sirikan. Keempat pasangguhan itu disebut Rakryan mantri, dipuji tentang jasa dan keberaniannya di medan perang.
Dua di antara empat pasangguhan itu disebut lagi dalam piagam Penanggungan, 1296. Pasangguhan Sang Arya Adikara dan Sang Arya Wiraraja tidak lagi disebut. Hal itu perlu dihubungkan dengan pemberitaan Pararaton mengenai pemberontakan Rangga Lawe alias Sang Arya Adikara pada tahun 1295, di mana Rangga Lawe mati terbunuh.
Sepeninggal Ranggalawe, Sang Arya Wiraraja tidak lagi tinggal di Majapahit, tetapi di Lumajang sebagai pembesar yang tidak tunduk kepada Majapahit. Lumajang diserahkan kepada Wiraraja sesuai dengan janji Sanggramawijaya. Mungkin itulah sebabnya maka pasangguhan Sang Arya Adikara dan Sang Arya Wiraraja itu tidak lagi disebut dalam piagam Penanggungan, yang dikeluarkan setahun setelah pemberontakan Rangga Lawe.
Dua orang pasangguhan lainnya ialah Sang Nayapati Pu Lunggah dan Seg Pranaraja, Pu Sina diberitakan pada lempengan 3b baris enam dan 4a baris satu. Hanya Piagam Kudadu dan Piagam Penanggungan yang memberitakan tentang adanya jabatan pasangguhan dengan kata mapasanggahan.