Dentingan Musik Gambus di Kampung Arab Menghentakkan Tarian Zapin
PASURUAN, NETRALNEWS.COM - Budaya yang berasal dari Timur Tengah sudah pasti mendominasi setiap perhelatan adat dan hajat di perkampungan yang dihuni mayoritas masyarakat keturunan Arab. Seperti yang terdapat di Kampung Arab Kota Pasuruan, Jawa Timur ini. Musik gambus adalah seni hiburan yang paling menonjol.
Dawai gambus berdenting membelah malam di atas langit tuan rumah yang menggelar hajat pernikahan di perkampungan Arab terpadat di Kota Pasuruan tersebut. Ketika marwas ditabuh maka gesekan biola pun ikut meliuk-liuk mengiringi suara penyanyi di hadapan puluhan undangan yang hadir mendoakan dan merestui pengantin.
Terdengar bukan hanya denting gambus atau lagu bernapaskan agama saja, tetapi ada juga suara keyboard dan gitar elektrik yang beriring di antara petikan dawai gambus mengiringi syair jenaka sang penyanyi yang rata-rata pria berwajah Arab tentunya.
Dari segi tontonan, orkes gambus adalah sajian yang asyik, segar, dan mengundang. Dengan banyak repertoar lagu baik dalam bahasa Arab maupun Indonesia. Musisi orkes gambus dan vokalis bisa mampu menahan penonton hingga selesai jam setengah dua malam.
Pentas dihangatkan dengan hentakan tarian zapin oleh para pria dari kerabat dan keluarga besar kedua mempelai. Mereka mengelilingi gelaran karpet luas, tempat alat musik gambus ditabuh. Wanita tak boleh ikut menari, mungkin ditabukan dan lagian tak pantas wanita berhijab berjoget di tengah lingkaran, tapi diperbolehkan menyumbangkan suaranya.
Kebanyakan penontonnya wanita muda, molek, dan bertubuh sintal. Bak kumpulan bintang film Timur Tengah. Ada yang berhijab syari dan berpenampilan seksi dengan rambut panjang pirang dikerudung kain terawang. Ada juga yang berdandan menor dengan gincu merah merona.
Ada yang menggambarkan seperti arena saling menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis yang ditaksirnya. Laki-laki unjuk kebolehan bertari zapin. Saling tarik menarik tangan kepada yang duduk untuk diajak berzapin ria mengikuti irama mirip dangdut itu. Sedang wanitanya hanya menunjukkan kekaguman lewat senyum manis dan tepuk tangan riuh.
Lagu yang dinyanyikan penyanyi dan penyumbang suara tentu saja berbahasa arab yang aku sendiri tak tahu artinya. Lagu bertema romantis bisa ditebak dari riuhnya penonton wanita. Senyum mereka merekah terhipnotis lirik sanjung yang melayang.
Penonton pribumi hanya bisa melihat dari luar pagar tapi sebenarnya kalau mendekat diperbolehkan. Mayoritas memang berdarah Arab tapi ada Jawa yang ikut berzapin.
Mungkin ada yang ingin sekali ikut menari zapi tapi belum berani atau kurang percaya diri. Menari zapin memang susah tapi asyik kalau sudah menguasai. Seperti cerita pemain film Laura Basuki yang mati-matian belajar tari zapin untuk mendukung perannya sebagai Delia dalam film 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta. Padahal Laura belum pernah sama sekali menyaksikan pertunjukan tarian Melayu yang kental pengaruh budaya Arab itu.
Mendengar kabar bahwa dia harus menari zapin, dia pun buru-buru mencari tahu seperti apa gerakan zapin. Saya langsung cari di Youtube dan ternyata setelah dilihat, kok, sepertinya susah, ujar Laura.
Kesulitan juga dialami aktor Reza Rahadian yang berperan sebagai Rosid dalam film itu. Ia hanya diberi kesempatan tiga kali latihan sebelum pengambilan gambar. Mati-matian saya belajar tarian zapin karena susah banget. Sebab, saat pengambilan gambar, menarinya tidak diedit. Saya harus menari terus dan tidak boleh salah, ujarnya lagi.
Hasilnya memang tidak mengecewakan. Pada adegan terakhir film garapan sutradara Benni Setiawan itu, Laura mampu tampil luwes sekaligus menyentuh ketika menarikan zapin bersama Reza sebagai ungkapan perpisahan.
Tarian Zapin merupakan salah satu dari beberapa jenis tarian Melayu yang masih eksis sampai sekarang. Tarian ini diinspirasikan oleh keturunan Arab yang berasal dari Yaman yang mempunyai pengaruh Arab Parsi.
Menurut sejarah, kata Zapin berasal dari bahasa arab yaitu Zaffan yang artinya penari dan Alzapin yang artinya gerakan kaki. Hal ini berkesinambungan karena tarian zapin lebih menekan pada gerakan kaki.
Orkes gambus setidaknya dalam dua soal: menghibur penonton dan menarik kalangan baru untuk menikmati musik gambus. Ada anak muda Jawa yang bertampang MTV. Ia mengaku sudah sejak lama penasaran dan ingin melihat langsung orkes itu.
Ternyata, musiknya asik juga ya brow, ujarnya.
Memang dalam musik gambus terdapat sedikit sentuhan kontemporer yang bisa dirasakan. Mungkin sang pimpinan orkes bermaksud agar musik gambus bisa dinikmati kalangan yang lebih luas.
Gambus, seperti halnya kasidah, memang sangat identik dengan Islam dan dakwah. Kedua jenis musik ini memang berakar ke Timur Tengah. Gambus memiliki beat lebih cepat karena sifatnya mengajak orang ikut berdendang.
Sementara kasidah yang lebih ditunjukkan untuk dakwah, memiliki irama dan alunan yang lebih halus dan lembut. Peralatan musik gambus tradisional hanya terdiri dari kecapi, biola, dan marwas. Meski setiap daerah yang mengenal gambus memiliki variasi berbeda tetapi pada ciri khas semua sama dan pantang untuk ditinggalkan, yaitu alat musik gambus dan warna nada Timur Tengahsebuah kelengkapan yang juga tidak ditinggalkan penyanyi kelas dunia semacam Nusraf dari Pakistan dan Umi Kalsum dari Mesir.
Seiring berputarnya waktu, gambus ikut mengalami perubahan dengan penambahan instrumen musik modern. Syair-syair gambus juga dilokalkan yang biasanya dinyanyikan dalam bahasa Arab dialihkan ke bahasa Indonesia. Perubahan tersebut secara tidak langsung ikut mempopulerkankan musik gambus ke luar komunitas keturunan Arab.
Musik gambus dikenal di Indonesia bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam. Perlahan-lahan merebak ke berbagai daerah di Nusantara lewat perdagangan bahari (laut). Di Nusa Tenggara Timur yang kental akan tradisi Kristen tak luput dari penyebaran musik ini. Anak-anak muda di pesisir Pulau Flores punya budaya memetik dawai gambus saat malam terang bulan untuk melabuhkan rindu hati pada kekasih.
Di Jakarta, perintis orkes gambus adalah Syech Albar, seorang Arab-Indonesia, kelahiran Surabaya 1908, yang juga ayah kandung penyanyi rock legendaris, Achmad Albar. Pada 1935, karyanya telah direkam dalam piringan hitam His Masters Voice. Suara dan petikan gambusnya bukan saja digemari di Indonesia tapi juga di Timur Tengah.
Penulis: Sapta Nugraha










