Polarisasi Masyarakat dan Politik Identitas Jadi Tantangan Besar dalam Pemilu 2024
Seusai mengadakan pertemuan di Jakarta, Kamis (25/5), para pemimpin dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menyampaikan sejumlah pesan penting terkait Pemilu 2024. Kedua organisasi tersebut sepakat bahwa isu polarisasi masyarakat dan praktik politik identitas merupakan isu penting yang tidak boleh diabaikan.
Ketua Umum Pengurus Besar NU, Yahya Cholil Staquf, meyakini perpecahan dalam masyarakat harus dihindari di mana ia menyebut kandidat yang bertarung dalam pemilu mendatang haruslah berfokus mengusung agenda kebangsaan.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf.
Kita memang butuh mendengar lebih banyak tentang visi, tentang agenda-agenda untuk bangsa dan negara, dan juga tentang komitmen untuk menjalankan kompetisi secara lebih bermoral, lebih bersih, tidak meriskir polarisasi atau perpecahan di dalam masyarakat dan seterusnya, ujar dia.
Untuk mencegah polarisasi itu, NU memandang kepemimpinan moral sangat dibutuhkan. Kedua organisasi Islam terbesar di Tanah Air itu bertekad untuk melaksanakan tanggung jawabnya, dengan menghadirkan keteladanan sikap, terutama lewat seruan-seruan moral.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir memberikan pernyataan resmi di Yogyakarta, Selasa (18/4). (Foto: Nurhadi)
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, yang memberikan keterangan pers bersama Yahya di kantor pusat PB NU, menilai bahwa politik di Indonesia dalam beberapa waktu diwarnai dua hal. Pertama adalah soal konsesi-konsesi politik yang dibangun melalui koalisi. Dan yang Kedua adalah munculnya banyak pernyataan politik bernada kompetitif, yang cenderung mengarah pada polarisasi.
Ketika dua hal itu terus intens, menjadi state of mind kontestasi para elit politik, ini bisa tidak konstruktif, pesan Haedar.
Karena itulah, Muhammadiyah mendorong visi kebangsaan lebih banyak dielaborasi di ruang publik, dan menjadi bahan diskusi politik para kontestan.
Ada tanggung jawab moral setiap elit, untuk membikin pernyataan, langkah-langkah, yang tidak mengarah pada polarisasi, karena harganya terlalu mahal, lanjut Haedar.
Warga menyaksikan petugas penyelenggara pemilu menunjukkan surat suara saat penghitungan suara di TPS di Jakarta, 9 April 2014. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Tebas Politik Identitas
Kedua organisasi Islam tersebut juga bersikap tegas terkait praktik politik identitas yang membahayakan masyarakat. Gus Yahya, sapaan akrab Yahya Cholil Staquf, memandang politik identitas sebagai politik yang hanya menyandarkan penggalangan dukungan, berdasarkan identitas-identitas primordial.
(Politik identitas) mengutamakan identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional (seperti) hal-hal yang lebih visioner (dan) menyangkut tawaran-tawaran agenda yang bisa dipersandingkan antara satu kompetitor dengan kompetitor yang lainnya, urainya.
NU meyakini politik identitas berbahaya bagi integritas masyarakat karena hal tersebut akan mendorong perpecahan.
Saya sendiri sering katakan, kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas Islam, bahkan tidak mau ada politik berdasarkan identitas NU. Kalau mau bertarung, ya harus dengan tawaran-tawaran yang rasional, tegas Yahya.










