Tirakat Mbah Hasyim dalam Perumusan Pancasila, Puasa hingga Khatam Al Quran
JAKARTA - KH Abdul Wahid Hasyim memiliki peran penting dalam perumusan Pancasila. Ia tergabung di dalam Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara.
Ia, bersama Soekarno, Moch Hatta, AA Maramis, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh Yamin, merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari\'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya. Demikian dilansir dari NU Online, Selasa (28/3/2023).
Sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin Ketuhanan tidak diubah esensinya.
Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.
5 Fakta Pesawat Cessna Jatuh di Karawang
Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asyari yang juga tak lain ayah dari KH Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur.
Kiai Wahid Hasyim menilai, bahwa Ketuhanan Yang Esa merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan ataupun celah bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Hal tersebut memberikan arti bahwa dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain.
Pada titik inilah, mengimplementasikan Pancasila sama artinya mengamalkan ajaran Syariat Islam dalam konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhirnya, intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain pun tidak ada.
Tentu, Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara.
Ini memiliki makna bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, 2010: 91).
Selain mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, Kiai Wahid Hasyim juga berani menegaskan bahwa sebagai masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam harus menunjukkan sikap inklusivitas terhadap kemajemukan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Artinya, Pancasila merupakan representasi dari seluruh bangsa Indonesia yang menjadi sebuah dasar negara.
Untuk memutuskan bahwa Pancasila sudah sesuai syariat Islam atau belum, Kiai Hasyim Asyari melakukan tirakat. Di antara tirakat Mbah Hasyim ialah puasa tiga hari. Selama puasa tersebut, mengkhatamkan Al-Quran dan membaca Al-Fatihah. Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat iyya kana budu waiyya kanastain, Mbah Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali.
Kemudian, setelah puasa tiga hari, Kiai Hasyim Asyari melakukan shalat istikharah dua rakaat. Rakaat pertama beliau membaca surat At-Taubah sebanyak 41 kali, sedangkan rakaat kedua membaca surat Al-Kahfi juga sebanyak 41 kali. Kemudian istirahat tidur. Sebelum tidur Kiai Hasyim Asyari membaca ayat terakhir dari surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali. Hal ini sebagaimana disamoaikan KH Ahmad Muwafiq di banyak ceramahnya.
Paginya, Kiai Hasyim Asyari memanggil anaknya Wahid Hasyim dengan mengatakan bahwa Pancasila sudah betul secara syari sehingga apa yang tertulis dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip ketauhidan dalam Islam.
Sila-sila lain yang termaktub dalam sila ke-2 hingga sila ke-5 juga sudah sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ajaran Islam. Karena ajaran Islam juga mencakup kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Atas ikhtiar lahir dan batin Kiai Hasyim Asyari tersebut, akhirnya rumusan Pancasila bisa diterima oleh semua pihak dan menjadi pemersatu bangsa Indonesia hingga saat ini.










