Pemerintah Habiskan 90 Miliar untuk Buzzer! Ini Rinciannya

Pemerintah Habiskan 90 Miliar untuk Buzzer! Ini Rinciannya

Nasional | ayobogor | NaN, NaN NaN NaN - aN:aN
share

JAKARTA, AYOBANDUNG.COM - Indonesia Coruption Watch (ICW) mengungkap, pemerintah telah menghabiskan Rp90,45 miliar untuk aktivitas digital yang melibatkan jasa influencer atau buzzer.

Peneliti ICW Egi Primayogha memaparkan, angka tersebut didapat dari hasil penelusuran ICW pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejumlah kementerian dan lembaga pada periode 2014-2018.

Terdapat 34 kementerian, 5 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), serta dua institusi penegak hukum yakni Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang ditelusuri. Pengadaan untuk aktivitas yang melibatkan influencer baru muncul pada 2017 dan terus berkembang hingga 2020 dengan total paket pengadaan sebanyak 40 sejak 2017-2020.

"2014, 2015 dan 2016 kami tidak menemukan kata kunci itu. Mulai ada penggunaannya di 2017, hingga akhirnya meningkat di tahun berikutnya," kata Egi dalam diskusi daring, Kamis (21/8/2020).

Terkait penggunaan jasa influencer ini, Pemerintah diminta transparan dalam segi penggunaan anggaran serta penentuan nama-nama influencer yang ditunjuk.

ICW mempertanyakan peran instansi kehumasan yang dimiliki Pemerintah dengan maraknya penggunaan jasa influencer tersebut.

"Apabila penggunaan jasa influencer semakin marak seperti apa gitu, kan jadi tidak berguna jangan-jangan peran institusi kehumasan yang dimiliki oleh pemerintah," kata Egi.

Adapun secara umum Pemerintah telah menghabiskan anggaran senilai total Rp1,29 triliun untuk aktivitas digital sejak 2014, termasuk di dalamnya Rp90,45 miliar yang digunakan untuk pengadaan 'influencer'.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengkritik pemerintah yang kerap menggunakan jasa influencer ataupun buzzer dalam mensosialisasikan berbagai kebijakan. Sebab, secara moral peran mereka bertentangan dengan prinsip demokrasi.

"Buzzer secara prinsip tidak mempunyai basis moral untuk ada di suasana demokrasi kita," ujar dia.

Asfinawati mengatakan, dalam menyampaikan sosialisasi atas kebijakan baru yang digagas oleh pemerintah, influencer ataupun buzzer cenderung menyampaikan berdasarkan apa yang dititipkan oleh pemberi pesan. Sehingga publik dinilai kesulitan untuk membedakan antara pendapat pribadi dan iklan.

Selain itu, masifnya kegiatan sosialisasi yang dilakukan influencer atau buzzer lewat sosial media (sosmed) juga berpotensi menutup ruang diskusi bagi masyarakat luas. Mengingat bot yang biasanya digunakan di sosmed, terutama Twitter dianggap tidak sepenuhnya mewakili suara rakyat.

"Yang memilih Pak Jokowi dan anggota DPR itu rakyat. Dalam proses demokrasi, suara mesin lebih berkuasa dari suara rakyat. Namun, sosmed atau mesin ini kan tidak masuk ke ruang pemilihan," jelasnya.

Ia mengkhawatirkan, suara rakyat akan semakin tergerus seiring muncul ara komunikasi baru yang dipakai influencer ataupun buzzer saat ini. Terlebih, cara kerja influencer dan buzzer itu telah diorganisasikan dengan baik oleh pembuat pesanan.

"Ini seperti sebuah orkestra. Di mana, cara kerja mereka merusak demokrasi dan memanipulasi fakta yang ada," katanya.

Topik Menarik