Patih Danurejo IV, Air Susu Dibalas dengan Air Tuba
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Apabila pembaca melihat judul di atas tentunya kalimat ini sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari kita. Kadang kebaikan yang diberikan kepada orang lain dibalas dengan keculasan atau kejahatan kepada yang memberi kebaikan itu. Menyakitkan memang, tetapi itulah yang terjadi pada Patih Danurejo IV kepada Diponegoro. Mengapa demikian? Mari kita ulas kisah itu.
Pada 1813, Patih Danurejo III yang dahulu bernama Tumenggung Sindunegoro sudah menua sehingga sudah mulai pikun dan sering salah dalam membicarakan urusan kerajaan dengan residen Yogyakarta. Saat itu, residen Yogyakarta dijabat oleh John Crawfurd seorang residen asal Scotlandia yang diangkat Raffles sebagai penguasa Yogyakarta, setelah orang Inggris menguasai Yogyakarta.
Crawfurd seorang residen yang cakap, pintar berdiplomasi, mengetahui adat istiadat orang Jawa dan menguasai bahasa Jawa halus. Dia dikenal akrab dengan Sang Pangeran karena memang sering berkomunikasi dengan Diponegoro setelah Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Surojo, ayah Diponegoro. Crawfurd meminta kepada Sultan ketiga untuk segera mengganti Patih Danurejo III karena sudah uzur.
Saat itu, ada dua nama yang paling cocok untuk menduduki perdana menteri atau patih, yaitu pertama Pangeran Dipokusumo dan kedua Tumenggung Pringgodiningrat. Calon pertama, Pangeran Dipokusumo didukung oleh Diponegoro tetapi ditolak oleh Sultan ketiga karena pernah menentang Sultan dan sudah uzur. Calon kedua, Tumenggung Pringgodiningrat yang saat itu menjabat Patih Jero didukung oleh Residen Crawfurd tetapi ditolak oleh Diponegoro.
Karena Sultan ketiga, Diponegoro, dan Crawfurd belum menemukan orang yang tepat menduduki jabatan patih, maka pemilihan patih berhenti untuk sementara. Tetapi, karena kebutuhan jabatan patih sangat mendesak agar urusan kerajaan berjalan lancar, maka jabatan patih harus segera terisi.
Di saat Residen Crawfurd sudah mulai gusar, Sultan ketiga mengutus nayaka nya yang bernama Tan Jin Sing ke Kadaleman Tegalrejo menemui Sang Pangeran. Tan Jin Sing mengantongi dua nama yang nantinya akan dipilih oleh Diponegoro sebagai patih.
Memang saat itu, Sang Pangeran merupakan penasihat ayahnya yang handal sehingga segala sesuatu harus mendapat persetujuan Sang Pangeran.
Dua nama yang diusulkan itu adalah pertama Tumenggung Pringgodiningrat, pilihan Crawfurd tetapi dulu tidak didukung Diponegoro. Kedua, Tumenggung Sumodipuro yang pernah menjabat sebagai bupati Japan (Mojokerto) di Mancanegara Timur. Karena memang Diponegoro tidak menyukai Tumenggung Pringgodiningrat yang dianggap kurang cakap maka dia lebih memilih Tumenggung Sumodipuro.
Sebenarnya Sultan ketiga sangat heran dengan pilihan Diponegoro ini karena Tumenggung Sumodipuro saat itu masih sangat muda. Di samping itu, Tumenggung Sumodipuro berasal dari orang biasa bukan dari keturunan bangsawan tinggi.
Kekurangan Tumenggung Sumodipuro adalah logat Jawa Timurnya yang masih sagat kental sehingga masih terasa asing bagi orang Yogyakarta. Dia juga kurang pengalaman dalam memerintah nayaka (pejabat senior) yang lebih tua.
Rupanya kritik yang ditujukan kepada Tumenggung Sumodipuro tidak menyurutkan hati Sang Pangeran untuk memilih Somodipuro sehingga anak muda ini dilantik menjadi Raden Adipati Danurejo IV pada 2 Desember 1813, menggantikan Patih Danurejo III yang memasuki masa pensiun.
Diponegoro memilih Tumenggung Sumodipuro bukannya tanpa alasan. Saat itu, tidak ada calon lain yang tepat dari keluarga Danurejan (keluarga dari Patih Danurejo III) untuk mengisi lowongan. Lagi pula, Tumenggung Sumodipuro yang dilantik menjadi Patih keempat itu, putra dari Tumenggung Sumodirjo yang pernah menjabat sebagai kepala pemukiman Putra Mahkota (ayahnya dahulu) di kadipaten, sehingga jika patih keempat berbuat yang aneh-aneh, Diponegoro dapat menegur ayahnya yang memang sudah dikenal sejak lama.
Meskipun Patih Danurejo IV terkenal karena nama buruknya di kemudian hari, tetapi di awal menjabat, ia menerima banyak pujian. Salah satu pujian itu terlontar dari Residen John Crawfurd. Residen Yogyakarta itu berkata: Saya tanpa ragu-ragu bisa memuji dia sebagai orang yang baik dan cerdas yang secara luar biasa cocok bagi jabatan yang diembannya. .......Kekurangannya adalah sifat malas yang lebih terkait dengan watak bangsanya (Jawa) untuk menduduki jabatan yang penting itu.
Jabatan patih sejak palihan nagari pada 1755, dan bahkan sejak masuknya Kompeni Belanda di kalangan istana kerajaan Mataram Islam pada masa Sunan Paku Buwono II (bertakhta 1726-1749) mempunyai fungsi yang sangat penting.
Jabatan patih bukan saja sebagai wakil raja dalam mengurusi pemerintahan, tetapi juga sebagai wakil pemerintahan kolonial di kerajaan. Untuk itulah seorang patih kakinya berada di dua tempat yakni untuk kepentingan kerajaan dan untuk kepentingan kolonial.
Dengan besarnya kekuasaan itulah, Patih Danurejo IV sifatnya berubah 180 derajat setelah berkuasa lama. Dia menjelma menjadi patih yang sangat terkenal karena keculasannya. Dia digambarkan sosok yang tidak bersih.
Kegemarannya bersenang-senang dan suka madat serta ambisi pribadi membuatnya menyalahgunakan kekuasaan. Jenderal de Kock menulis tentang Patih Danurejo IV sebagai orang Jawa yang mempunyai gundik-gundik cantik dan tidak pernah pisah dari pipa madat.
Puncak kejengkelan Diponegoro kepada Danurejo IV adalah Sang Pangeran merasa kebaikan dirinya kepada Patih Danurejo IV dibalas dengan air tuba dengan sikap koruptifnya dan tidak memihak pada rakyat kecil. Danurejo IV juga menfitnah bahwa yang meracuni Sultan keempat sehingga meninggal dunia adalah Diponegoro.
Tidak berhenti sampai di situ, Patih Danurejo IV ikut menyumbang pemikiran membuat jalan raya yang menerabas tanah Tegalrejo untuk memprovokasi Sang Pangeran agar melawan Kolonial Belanda. Sang Patih juga andil memerintahkan menyerbu Kadaleman Tegalrejo dan membakarnya yang mengawali berkobarnya Perang Jawa.
Penulis Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.










