Penundaan Pemilu tak Urgen

Penundaan Pemilu tak Urgen

Nasional | koran-jakarta.com | Kamis, 13 Januari 2022 - 07:04
share

PURWOKERTO - Wacana penundaan Pemilu 2024 tidak ada urgensinya yang jelas. Penilaian ini dikemukakan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Ahmad Sabiq, di Banyumas, Rabu (12/1).

Menurutnya, pemilu dilakukan secara berkala untuk seleksi pejabat publik. Kalau diundur, apa urgensinya? Ia mengatakan jika pelaksanaan Pemilu 2024 diundur, mekanismenya akan hilang. Tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk menunda, kecuali dalam kondisi darurat seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 karena pandemi Covid-19.

Pelaksanaan Pilkada 2020 diundur dengan alasan keamanan jiwa karena Covid-19. Alasan ini bisa diterima secara rasional. Isu pemilu diundur datang dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil. Bahlil mengatakan, dunia usaha ingin agar Pemilu 2024 diundur karena usaha baru mulai bangkit kembali setelah terpuruk akibat pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir. Usul Bahlil ini, menurut Ahmad Sabiq, bukanlah alasan substansial.

Ia mengatakan, jika Pemilu 2024 tetap dilaksanakan sesuai dengan waktunya justru dapat menjadikan ruang yang segar pula bagi keberlangsungan kegiatan ekonomi. "Artinya itu alasan yang mengada-ada. Tidak ada argumen yang kuat untuk menunda Pemilu 2024," tuturnya. Ahmad Sabiq menambahkan, jika akhirnya Pemilu 2024 sampai diundur, tidak menutup kemungkinan ada protes masyarakat. Ini bisa dari para aktivis demokrasi.

Sedangkan Bahlil berpendapat, memajukan atau memundurkan pelaksanaan Pemilu 2024 tidak dilarang dalam sejarah perjalanan Indonesia. Hal ini pernah terjadi pada Orde Lama dan peralihan Orde Baru ke Reformasi.

Sementara itu, Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia punya alasan kuat hingga mengungkapkan keinginan pelaku usaha agar pemilu 2024 diundur dan memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo.

Kendati demikian, Moeldoko menegaskan bahwa sikap Presiden Jokowi tetap dua kali masa jabatan, seperti diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, yaitu memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih lagi sekali pada jabatan yang sama.

Dasar Hukum

Hal senada Ahmad disampaikan anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus. Menurut Guspardi, pernyataan Bahlil Lahadalia tidak memiliki dasar hukum. "Pernyataan Bahlil keluar dari semangat reformasi, melawan kedaulatan rakyat, serta tidak sesuai dengan amanat konstitusi," ujarnya.

Dia menyebut, UUD 1945 Pasal 7 secara jelas menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih sekali lagi pada jabatan yang sama. Lalu Pasal 22E UUD 1945 menegaskan pemilihan umum harus dilaksanakan setiap lima tahun. Pemilu dilaksanakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dan DPRD.

Guspardi menjelaskan, pelaksanaan pemilu pada masa Orde Lama dan Orde Baru yang dijadikan contoh oleh Bahlil, menunjukkan yang bersangkutan tidak memahami konstitusi, UUD 1945. Lagi pula, pemilu tidak pernah menjadi penyebab krisis ekonomi.

Karena itu, Guspardi, mengingatkan agar Bahlil tidak menggiring opini seolah-olah pelaku usaha berharap pelaksanaan Pilpres 2024 diundur dengan pertimbangan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi. "Dalam konstitusi tidak ada norma yang memungkinkan presiden/wakil presiden diperpanjang masa jabatannya," ujarnya.

Topik Menarik