Ini Hukum Merayakan Imlek bagi Muslim Tionghoa

Ini Hukum Merayakan Imlek bagi Muslim Tionghoa

Muslim | okezone | Senin, 31 Januari 2022 - 10:16
share

JELANG tahun baru China atau Imlek, artis cantik Angel Lelga yang merupakan keturunan Tionghoa dan seorang mualaf menyatakan akan ikut merayakannya. Ia mengakui hal tersebut dilakukannya untuk menghormati keluarganya yang memang beragam.

"Saya mengikuti semuanya dari Natal, saya mualaf lebaran Idul Fitri, terus Imlek juga," ucap Angel Lelga ketika ditemui baru-baru ini.

Lantas, bagaimana hukumnya menurut ajaran agama Islam bagi Muslim Tionghoa yang ikut merayakan Imlek? Berikut ini penjelasannya.

Dikutip dari laman Muslim.or.id , Senin (31/1/2022), Ustadz Yulian Purnama S.Kom menerangkan hari raya non-Muslim harus dihindari oleh umat Islam. Sebagaimana hari raya Nairuz dan Mahrajan yang dilarang walaupun tidak terkait akidah.

Berdasarkan hadis dari Anas bin Malik radhiallahuanhu, ia berkata:

"Di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: \'Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?\' Warga madinah menjawab: \'Pada dua hari raya ini, dahulu di masa jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang.\' Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda: \'Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fithri\'." (HR Abu Dawud Nomor 1134, dishahihkan Syekh Al Albani dalam kitab Shahih Abi Dawud)

Dua hari raya jahiliyah itu adalah Nairuz dan Mahrajan. Disebutkan juga dalam hadis tersebut bahwa dua hari raya itu adalah hari senang-senang saja tidak ada kaitannya dengan akidah, namun tetap dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam. Karena merayakan hari raya selain hari raya kaum Muslimin adalah bentuk menyerupai non-Muslim.

Al Majd Ibnu Taimiyah (kakek dari ulama besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah menjelaskan:

"Hadis ini memberi faedah tentang haramnya tasyabbuh kepada orang kafir dalam hari raya mereka, karena Nabi tidak menoleransi dirayakannya dua hari raya jahiliyyah tersebut, dan tidak membiarkan penduduk Madinah bermain-main di dua hari raya tersebut pada sudah menjadi tradisi." (Faidhul Qadir, 4/511)