Thailand Kritik Cara Trump Damaikan Perang dengan Kamboja Pakai Ancaman Tarif
BANGKOK, iNews.id - Thailand mengkritik cara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyelesaikan konflik antara negaranya dengan Kamboja, yakni melalui paksaan.
Trump pada Juli lalu mengancam Thailand dan Kamboja dengan pemberlakuan tarif tinggi, bahkan menghentikan kerja sama perdagangan AS dengan kedua negara tersebut, jika perang tak diakhiri.
Ancaman Trump tersebut berbuah Deklarasi Damai Kuala Lumpur yang diteken pemimpin kedua negara disaksikan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Trump pada 26 Oktober lalu.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Thailand Sihasak Phuangketkeow mengatakan kepada Reuters, tarif seharusnya tidak boleh digunakan untuk menekan negaranya sehingga terpaksa memulai perundingan damai dengan Kamboja.
Menurut Sihasak, Kamboja yang harus bertanggung jawab untuk meredakan konflik.
Konflik bersenjata sejak Senin (8/12/2025), yang sejauh ini telah menewkan 12 orang di kedua pihak, merupakan yang terburuk sejak perang 5 hari pada Juli. Saat itu Trump turun tangan dengan mengancam kedua negara, negosiasi untuk menurunkan tarif perdagangan akan dibekukan kecuali kedua pihak menghentikan permusuhan.
"Kami kira tarif tidak harus digunakan untuk menekan Thailand agar kembali ke deklarasi bersama, untuk kembali ke proses dialog," kata Sihasak.
"Anda harus memisahkan masalah hubungan Thailand-Kamboja dengan perundingan dagang," ujarnya, menambahkan.
Konflik bersenjata terbaru ini meluas di sebagian besar garis perbatasan kedua negara yang panjangnya mencapai 817 km.
Trump belum mengomentari langsung pertempuran yang baru terjadi, namun Menlu AS Marco Rubio mengungkapkan keprihatinan pemerintahannya secara meminta kedua pihak untuk meredakan ketegangan dan kembali ke Deklarasi Damai.
Sihasak menegaskan, situasi saat ini dengan Kamboja tidak kondusif untuk dilakukan mediasi melibatkan pihak ketiga. Selain itu Kamboja harus menunjukkan ketulusan dan memulai untuk meletakkan senjata.
"Jika pihak lain merasa ingin benar-benar mengakhiri konflik, maka kami menunggu untuk mendengarkan apa yang mereka sampaikan," ujarnya.










