Ketika Komunikasi Pemerintah Tak Lagi Dipahami Gen Z
Yuari Prayanto
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, STIKOM InterStudi, Analis Komunikasi Digital
PEMERINTAH pusat kerap berupaya menjelaskan kebijakan publik dengan berbagai cara: konferensi pers, iklan layanan masyarakat, hingga unggahan di media sosial. Namun di era digital yang serba cepat ini, pesan yang disampaikan justru sering menimbulkan kebingungan baru, terutama di kalangan generasi Z.
Bagi Gen Z, pesan pemerintah kerap terdengar seperti “bahasa orang tua” yang panjang, formal, dan teknokratis. Mereka yang terbiasa mencerna informasi visual dan singkat di TikTok atau Instagram, kehilangan minat pada narasi resmi yang kaku. Hasilnya bukan pemahaman, melainkan jarak dan sinisme.
Kesenjangan ini bukan sekadar soal usia, tetapi soal cara berpikir dan berkomunikasi. Gen Z tumbuh dalam budaya digital di mana kecepatan, keaslian, dan interaktivitas lebih penting daripada protokol atau hierarki. Sementara gaya komunikasi pemerintah masih bertumpu pada model satu arah, top-down, dan defensif. Di titik ini, persoalannya bukan hanya apa yang disampaikan, melainkan bagaimana pesan itu dibangun dan dihidupi.
Kegagalan Membaca Generasi Digital
Polemik sosialisasi UU Cipta Kerja beberapa tahun lalu menjadi contoh klasik. Alih-alih menenangkan publik, komunikasi pemerintah justru menyalakan gelombang protes di dunia maya. Penjelasan yang rumit dan kurang transparan menimbulkan persepsi negatif bahwa pemerintah menyembunyikan sesuatu. Presiden bahkan menegur menterinya karena komunikasi publik yang “sangat jelek”.
Fenomena serupa berulang dalam kasus pengibaran bendera One Piece oleh mahasiswa, yang semestinya dibaca sebagai ekspresi simbolik khas anak muda. Namun sebagian pejabat menanggapinya sebagai ancaman. Reaksi berlebihan ini menunjukkan bahwa sebagian pengambil kebijakan belum memahami bahasa simbolik generasi baru, bahasa yang sarat metafora, humor, dan ironi.
Thom Haye Bicara Peluang Persib Bandung Kejar Borneo FC di Klasemen Sementara Super League 2025-2026
Bagi Gen Z, komunikasi bukan sekadar penyampaian pesan, melainkan cara membangun identitas bersama. Mereka menghargai transparansi, spontanitas, dan keberanian mengakui kesalahan. Pemerintah yang terlalu kaku dan penuh jargon birokratis mudah dianggap tidak jujur atau tidak relevan dengan realitas mereka.
Analisis dari Sudut Pandang IMC
Dari perspektif Integrated Marketing Communication (IMC), setidaknya ada tiga kesalahan mendasar dalam komunikasi publik pemerintah terhadap Gen Z.
Pertama, lemahnya segmentasi audiens. IMC menekankan pentingnya memahami karakter setiap segmen. Gen Z bukan sekadar “pemuda”, melainkan generasi yang hidup dalam ekosistem digital, kritis, multitasking, dan terbiasa menyaring informasi dalam hitungan detik. Tanpa riset khalayak yang mendalam, pesan pemerintah mudah kehilangan relevansi.
Kedua, kurangnya integrasi antar-kanal komunikasi. Pesan pemerintah sering tidak selaras antara kementerian, bahkan antara pejabat satu dan lainnya. Di televisi bicara A, di media sosial muncul B. Dalam prinsip IMC, pesan yang efektif harus konsisten di seluruh kanal, baik melalui siaran resmi, situs web, maupun platform digital. “One voice, multiple channels.”
Ketiga, komunikasi yang masih satu arah. Model komunikasi pemerintah masih banyak bersifat monologis, mengumumkan, bukan berdialog. Padahal, teori two-way symmetrical communication (James Grunig) menegaskan bahwa efektivitas komunikasi justru lahir dari interaksi dua arah yang saling menghargai umpan balik. Gen Z menilai pemerintah bukan dari seberapa sering bicara, tapi seberapa mau mendengar.
Dalam konteks IMC, publik bukan lagi sekadar penerima pesan, melainkan co-creator makna. Pemerintah seharusnya membuka kanal aspirasi digital, forum interaktif, kolom tanya jawab, atau sesi live streaming dengan pejabat publik, sehingga warga merasa dilibatkan, bukan digurui.
Rebranding Komunikasi Publik
Komunikasi publik modern bukan lagi soal penyiaran kebijakan, melainkan membangun hubungan dan kepercayaan (relationship and trust building). Pemerintah dapat menerapkan prinsip IMC dengan beberapa langkah konkret:
- Gunakan riset audiens yang berbasis data. Pahami nilai, bahasa, dan pola konsumsi media Gen Z.
- Ciptakan satu narasi besar lintas lembaga. Hindari pesan kontradiktif yang menurunkan kredibilitas.
- Optimalkan media sosial secara strategis. Jadikan platform digital bukan sekadar panggung pencitraan, tetapi ruang dialog interaktif dan edukatif.
- Pilih komunikator yang kredibel dan relatable. Figur komunikator harus autentik, konsisten, dan mampu menjembatani dunia birokrasi dengan dunia digital.
- Bangun transparansi dan akuntabilitas. Tak ada komunikasi yang lebih kuat daripada kejujuran yang terbukti.
Di era kelebihan informasi, kecepatan bukan lagi keunggulan, kepercayaanlah yang menjadi mata uang utama. Pemerintah yang mampu memadukan empati, konsistensi, dan keberanian untuk mendengar akan mendapatkan loyalitas emosional dari publik muda.
Penutup
Generasi Z bukan hanya target sosialisasi, tetapi mitra strategis dalam membangun masa depan bangsa. Mereka memiliki kreativitas, jejaring, dan pengaruh yang dapat memperkuat legitimasi kebijakan pemerintah, asal didekati dengan cara yang benar.
Sudah saatnya pemerintah melakukan rebranding besar-besaran terhadap komunikasi publiknya. Bukan dengan bahasa gaul yang dipaksakan, tetapi dengan kejujuran, relevansi, dan kemauan beradaptasi. Jika komunikasi lama bertumpu pada hierarki, maka komunikasi masa depan harus bertumpu pada kolaborasi. Karena pada akhirnya, komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan, melainkan membangun makna bersama.
Makna tidak akan pernah lahir dari monolog. Makna tumbuh dari dialog, kepercayaan, dan kesetaraan, tiga hal yang paling dicari Gen Z dari pemerintahnya hari ini.








