Mengenal Perjuangan Tuanku Tambusai yang Namanya Diabadikan jadi Kodam XIX
PEKANBARU, iNews.id - Provinsi Riau kini memiliki Kodam (Komando Daerah Militer) yang bermarkas di Jalan Ali Rasyid, Kota Pekanbaru. Nama Markas TNI AD yang baru di Pekanbaru ini adalah Kodam XIX Tuanku Tambusai (TT) yang diambil dari salah satu tokoh pejuang kemerdekaan asal Riau.
Makodam baru yang berada di depan Masjid Raya An Nur Pekanbaru sebelumnya merupakan Markas Korem (Komando Rayon Militer) 031 Wira Bima yang dipimpin jendral bintang satu.
Kini setelah beralih jadi Kodam, maka Kodam XIX Tuanku Tambusai dipimpin Pangdam. Presiden Prabowo Subianto resmi menunjuk Mayjen TNI Agus Hadi Waluyo sebagai Pangdam XIX Tuanku Tambusai.
Kodam XIX Tuanku Tambusai berada di jantung Kota Pekanbaru, Ibu Kota Riau. Kodam XIX Tuanku Tambusai membawahi dua provinsi yakni Riau dan Kepulauan Riau (Kepri). Sebelumnya, TNI AD di Riau masuk dalam Kodam I Bukit Barisan (BB) bersama Kepulauan Riau.
Makodam Tuanku Tambusai merupakan Markas Korem. Markas Korem tersebut selama ini dalam tahap renovasi. Riau merupakan daerah strategis karena berdekatan dengan dua negara yakni Malaysia dan Singapura.
"Alhamdullilah sekarang Riau punya Kodam. Kita berharap kehadiran Kodam akan membawa manfaat untuk masyarakat bangsa dan negara," kata Aidil warga Pekanbaru Senin (11/8/2025).
Perjuangan Tuanku Tambusai
Tuanku Tambusai merupakan salah satu pejuang dari Riau dalam perang dengan Belanda. Karena kepiawannya dalam berperang, dia ditakuti penjajah Belanda. Diapun dijuluki Harimau Paderi dari Rokan. Berkat jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI, pada tahun 1995 Tuanku Tambusai diberi gelar Pahlawan Nasional.
Dalu-dalu merupakan salah satu desa pedagang Minangkabau yang berdiri di tepi Sungai Sosah, anak Sungai Rokan. Dari desa inilah lahir seorang tokoh perlawanan terkenal, Tuanku Tambusai, yang bernama asli Muhammad Saleh. Setelah menunaikan ibadah haji, ia dikenal dengan nama Tuanku Haji Muhammad Saleh.
Putra pasangan perantau Minangkabau, Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah, ini mewarisi tradisi dan ilmu dari orang tuanya. Ayahnya berasal dari Nagari Rambah, seorang guru agama Islam yang kemudian diangkat Raja Tambusai menjadi imam. Ibunya berasal dari Nagari Tambusai, bersuku Kandang Kopuh, dan sesuai adat Minangkabau yang matrilineal, suku ini diwarisi Tuanku Tambusai.
Sejak kecil, ia mendapat didikan ayahnya dalam ilmu bela diri, berkuda, dan tata cara bernegara. Untuk memperdalam agama, ia menuntut ilmu ke Bonjol lalu Rao, belajar kepada para ulama berpaham Paderi. Dari mereka, ia memperoleh gelar fakih dan terpikat pada ajaran pemurnian Islam, yang kemudian ia sebarkan di tanah kelahirannya. Dakwahnya cepat diterima masyarakat, menguatkan tekadnya menyebarkan Islam hingga ke wilayah Batak, yang saat itu masih banyak menganut pelbegu.
Perjuangan Bersama Gerakan Paderi
Tuanku Tambusai memulai perjuangan di Rokan Hulu dengan pusat pertahanan di Benteng Dalu-dalu. Tahun 1823 ia bergerak ke wilayah Natal, lalu memimpin pasukan gabungan dari berbagai daerah—Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal—untuk menghadang Belanda pada 1824. Selain sempat menunaikan haji, ia juga diminta Tuanku Imam Bonjol mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.
Selama sekitar 15 tahun, perlawanan yang dipimpinnya membuat Belanda kerepotan hingga harus meminta bantuan pasukan dari Batavia. Kecerdikannya terbukti ketika ia berhasil menghancurkan Benteng Belanda Fort Amerongen dan merebut kembali Bonjol, meski tidak bertahan lama.
Musuh yang dihadapinya bukan hanya Belanda, tetapi juga pasukan Raja Gedombang (Regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo yang berpihak pada kolonial. Karena ketangguhannya yang sulit ditundukkan, Belanda menjulukinya “De Padrische Tijger van Rokan” atau Harimau Paderi dari Rokan.
Akhir Perlawanan dan Warisan Perjuangan
Meski Kolonel Elout menawarkan perdamaian, Tuanku Tambusai menolak. Pada 28 Desember 1838, Benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat jalan rahasia, ia meloloskan diri, mengungsi, dan menetap di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia, hingga wafat pada 12 November 1882.
Atas jasa-jasanya menentang penjajahan Hindia-Belanda, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 7 Agustus 1995 melalui Keputusan Presiden No. 71/TK/1995.









