Cerita di Balik Puasa Asyura Menurut Ibnu Abbas dan Al-Qurtubi

Cerita di Balik Puasa Asyura Menurut Ibnu Abbas dan Al-Qurtubi

Gaya Hidup | inews | Sabtu, 5 Juli 2025 - 04:01
share

JAKARTA, iNews.id -  Cerita di balik Puasa Asyura menyimpan makna dan sejarah yang mendalam dalam tradisi Islam. Puasa ini tidak hanya sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, tetapi juga sarat dengan nilai spiritual dan identitas keagamaan yang kuat. 

Dalam tulisan ini, kita akan membahas bagaimana puasa Asyura sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW sebelum hijrah ke Madinah, serta alasan beliau menambahkan puasa Tasua (9 Muharram) sebagai pembeda agar umat Islam tidak dianggap meniru tradisi agama lain. 

Penjelasan ini berdasarkan riwayat hadits dari Ibnu Abbas, Aisyah RA, dan penafsiran para ulama klasik seperti Imam al-Qurtubi, yang semuanya menunjukkan bahwa puasa Asyura adalah ibadah yang autentik dan khas dalam Islam. 

Dilansir iNews.id dari laman resmi Muhammadiyah, berikut penjelasan cerita di balik Puasa Asyura:

Cerita di Balik Puasa Asyura

Muharram: Bulan Mulia dan Awal Tahun Hijriyah

Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Islam yang menandai pergantian tahun Hijriyah. Bulan ini disebut mulia karena Allah SWT menyebutkan dalam surat At-Taubah ayat 36, dan Rasulullah SAW bersabda bahwa dalam setahun ada dua belas bulan, di antaranya empat bulan yang sangat mulia, yaitu Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab secara berurutan.

Asal-Usul Puasa Asyura dalam Islam

Dalam bulan Muharram, terdapat dua momentum penting yang sering mendapat perhatian umat Islam, yaitu Tahun Baru Hijriyah pada tanggal 1 Muharram dan Hari Asyura pada tanggal 10 Muharram. Puasa Asyura sendiri seringkali dianggap sebagai tradisi yang diadaptasi dari ibadah umat Yahudi, yang juga berpuasa pada hari yang sama.

Benarkah Puasa Asyura Diambil dari Tradisi Yahudi?

Hadits dari Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Mereka menjelaskan bahwa hari itu adalah hari Allah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan Fir’aun, sehingga Musa berpuasa sebagai ungkapan syukur. 


Nabi Muhammad kemudian berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umat Islam untuk melaksanakannya dengan alasan, أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ — “Aku lebih berhak atas Musa daripada mereka” (HR. Bukhari).

Namun, asumsi bahwa puasa Asyura merupakan tiruan dari Yahudi tidak sepenuhnya tepat.

Puasa Asyura Sudah Dilaksanakan Sebelum Hijrah

Hadits dari Aisyah RA menunjukkan bahwa puasa Asyura sudah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan orang Quraisy sebelum hijrah ke Madinah, bahkan sebelum beliau bertemu dengan orang-orang Yahudi. 

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan puasa Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Setelah puasa Ramadhan diwajibkan, puasa Asyura menjadi sunnah yang boleh dilakukan sesuai kehendak.Hal ini menegaskan bahwa puasa Asyura bukanlah hasil adaptasi dari tradisi Yahudi, melainkan sudah menjadi bagian dari tradisi Islam sejak awal.

Penjelasan Imam al-Qurtubi tentang Puasa Asyura

Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa puasa Asyura yang dilakukan oleh orang Quraisy diwarisi dari ajaran Nabi Ibrahim AS, sebagaimana tradisi haji yang juga berasal dari beliau. Salah satu alasan puasa Asyura adalah karena pada hari itu Ka’bah pernah ditutup dengan kain kiswah, sebuah peristiwa yang memiliki makna khusus dalam sejarah Islam.

Mengapa Nabi Muhammad SAW Menambahkan Puasa Tasua?

Ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura, beliau tidak serta-merta mengikuti tradisi mereka. Sebaliknya, beliau menegaskan keutamaan puasa Asyura yang sudah beliau jalankan berdasarkan tradisi Ibrahim dan menambahkan anjuran puasa Tasua pada tanggal 9 Muharram sebagai pembeda.

Hadits dari Ibnu Abbas menyebutkan:


عَبْدَ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا : حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ


Artinya: Dari Abdullah bin Abbas RA, beliau berkata bahwa ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah SAW menjawab, “Insya Allah tahun depan kita akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasua).” Namun, tahun berikutnya tidak sempat terlaksana karena Rasulullah wafat (HR. Muslim).

Penambahan puasa Tasua oleh Nabi Muhammad SAW merupakan strategi untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan mempertegas identitas umat Islam agar tidak dianggap meniru tradisi agama lain. Dengan begitu, puasa Tasua dan Asyura menjadi ibadah yang unik dan khas bagi umat Islam, sekaligus menegaskan kedekatan Nabi Muhammad SAW dengan tradisi para nabi sebelumnya, khususnya Nabi Ibrahim AS.

Topik Menarik